Sabtu, 31 Agustus 2019

Ikhlas, Sumber Segala Kebahagiaan


*KETIKA* seseorang melakukan kebaikan namun tidak diiringi dengan keikhlasan maka bisa dipastikan bahwa ia akan senantiasa diliputi perasaan kecewa, lebih-lebih kala kebaikan yang dilakukannya tidak diapresiasi orang lain. Ia bahkan akan mengalami penurunan motivasi yang sangat drastis, hingga tidak ada lagi semangat sedikitpun untuk melakukan kebaikan.

Sebaliknya, jika ada apresiasi dari orang lain, semangat melakukan kebaikan akan kembali meningkat tajam disertai gairah yang sangat luar biasa. Akan tetapi, motivasi yang demikian, sebenarnya tidak mendatangkan apa-apa selain hanya menipu diri sendiri. Sebab, kita beramal tidak lagi karena Allah tapi karena manusia.

Padahal, Allah Ta’ala, memerintahkan kita beramal baik hanya karena-Nya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan;

قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَّهُ دِينِي

“Katakanlah: “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (QS. Az-Zumar [39]: 14).

Mengenai bahasan ini, Syeikh Musthafa Masyhur dalam bukunya Fiqh Dakwah Jilid I mengutip pendapat seorang inspirator dari negeri piramida, Mesir, yakni Hasan Al-Banna.

Menurut Hasan Al-Banna, ikhlas itu adalah menunjukkan semua ucapan, amal dan jihadnya hanya kepada Allah semata. Karena mencari ridha dan kebaikan pahala-Nya, tanpa mengharapkan keuntungan popularitas, kehormatan, reputasi, kemajuan dan keterbelakangan. Dengan keikhlasan ini seseorang akan menjadi pengawal fikrah dan aqidah. Bukan pengawal kepentingan dan keberuntungan.

Dengan demikian, maka sudah sepatutnya seorang Muslim senantiasa menimbang-nimbang aktivitas yang dilakukannya selama ini, apakah sudah murni karena Allah atau ada pretensi, interes, atau kepentingan semu lainnya?

Sebab jika tidak, maka amat disayangkan, amal baik yang dilakukan menjadi tidak bernilai apa-apa di hadapan Allah Ta’ala. Sebagaimana yang tergambar dalam satu hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alayhi Wasallam.

“Dan dari Abu Musa Abdullah bin Qays al-‘Asy’ari radhiyallahu anhu berkata, ‘Rasulullah pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena ingin dikatakan berani, fanatisme golongan dan riya’. Manakah yang bernilai sabilillah? Rasulullah menjawab, ‘Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah bisa ditegakkan maka sesungguhnya ia telah berperang di jalan Allah.” (HR. Bukhari Muslim).

Dan, demikianlah sesungguhnya inti dari hidup ini, yakni ikhlas karena mengharap ridha-Nya, bukan yang lain. Sebagaimana ditegaskan Allah di dalam Al-Qur’an;

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ


“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS:  Al-Bayyinah [98]: 5).


*Tegas, Komitmen & Lemah Lembut*

Apabila seorang Muslim memahami ikhlas dengan baik dan mengamalkannya sepenuh hati, maka ia akan tampil sebagai sosok yang tegas, komitmen dan lemah lembut. Hal inilah yang terjadi pada sosok Abu Bakar radhiyallahu anhu.

Siapa tidak mengenal watak asli Abu Bakar, beliau adalah sosok sahabat yang pemalu, mudah menangis kala mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dan sangat lemah lembut. Tetapi, kala ajaran Allah hendak dipisahkan, yakni antara zakat dan sholat, ia berubah 180 derajat menjadi pribadi Muslim yang sangat tegas. Bahkan, Sayyidina Umar yang terkenal sangat tegas pun seketika tidak bisa memilih apapun selain tunduk pada kebijakan khalifah pertama umat Islam itu.

Komitmen Abu Bakar terhadap kebenaran tidak tergoyahkan oleh apa pun juga. Entah itu senioritas, keilmuan atau pun prestise lainnya yang masih diyakini sebagian bangsa Arab. Jika ditanya, mengapa Abu Bakar demikian, tidak lain karena keikhlasannya dalam menjalankan perintah Allah.

Ikhlas seperti itulah yang diperlukan oleh setiap Muslim di negeri ini, khususnya para pemimpin dan pemangku kebijakan. Jika hal itu mampu diwujudkan, maka secara bertahap, segala permasalahan keumatan, kerakyatan, kebangsaan dan kenegaraan akan bisa diatasi dengan sebaik-baiknya.

Oleh karena itu, mari senantiasa perbaiki diri, terutama keikhlasan diri kita dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Sebab, ikhlas inilah sebaik-baik jalan bagi setiap Muslim untuk benar-benar bisa mencapai kebahagiaan yang hakiki. Semoga Allah memberikan kekuatan diri kita untuk terus ikhlas dalam amal sholeh, dakwah dan jihad fii sabilillah.*


*Sumber*
Hidayatullah.com

Sabtu, 24 Agustus 2019

Merasakan Manisnya Iman itu dengan Amal

Image Source : Pixabay

*IMAN* bukanlah sesuatu yang dapat dirasakan kehadirannya, peningkatannya, hanya dengan memahami ilmu agama secara teoritis semata. Tanpa amal tanpa pengorbanan.

Iman di dalam Islam sebagaimana juga dibuktikan dalam sejarah adalah perkara yang manisnya bisa dirasakan ketika jiwa raga seseorang menceburkan dirinya di dalam segala bentuk aktivitas ataupun pekerjaan yang menyangkut hajat hidup umat Islam dan demi tegaknya peradaban Islam.

Mengapa dahulu para sahabat Nabi sangat antusias dalam jihad? Karena dalam jihad ada manisnya iman yang tak bisa dirasakan melainkan dengan mencicipi dan lebih jauh menikmatinya. Sebagian ulama larut dengan aktivitas mengajarkan ilmu dan bersedekah setiap hari. Mengapa mereka terus melakukannya? Karena manisnya iman nyata mereka rasakan.

Oleh karena itu penting dipahami, bahwa untuk meningkatkan iman dan taqwa adalah dengan langsung menjalankan segala macam bentuk amalan bahkan perjuangan dan pengorbanan bagi tegaknya iman dan peradaban Islam.

Ustadz Abdullah Said di dalam bukunya Kuliah Syahadat mengatakan bahwa mencari pengalaman melalui keterlibatan langsunglah satu-satunya cara paling efektif untuk merasakan sendiri halawatul Iman (manisnya iman) atau kenikmatan beriman. Bagaimana mungkin umat bisa menikmati kalau belum pernah mengalami, akan sangat berbeda bobot keyakinan yang diperoleh lewat berita dibandingkan dengan yang dirasakan secara langsung.” (halaman: 144).

Beliau melanjutkan “Selama hal tersebut hanya berupa teori yang tak beda dengan berita, selama bentuknya sekadar informasi dan indoktrinasi semata, tidak dengan menunjukan langsung di lapangan agar mereka dapat mengalami sendiri pahit getirnya mempertahankan syahadat, suka dukanya mengembangkan syahadat, sampai-sampai kepada titik klimaksnya sebagai fase-fase penentuan uji cobanya, terlalu sulit kita harapkan kualitas (iman) yang baik itu.”

Itulah mengapa di dalam Islam banyak sekali perintah yang mesti dilakukan oleh umat Islam di mana sebagian besar di antaranya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang benar-benar meyakini ajaran Islam, sehingga mereka inilah orang yang dapat merasakan keindahan sekaligus mampu merepresentasikan keindahan ajaran Islam.

Lebih jauh bisa kita lihat dalam kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam dari berbagai sisi.
Dari sisi ibadah beliau mampu menghidupkan malam-malam dengan sholat, dari sisi kepedulian beliau menjadi orang yang sangat gelisah apabila di dalam rumah masih ada harta yang belum disedekahkan. Dari sisi kepemimpinan beliau adalah orang yang paling mengkhawatirkan nasib umatnya sampai-sampai menjelang wafatnya beliau masih mengatakan, “ummati, ummati, ummati.”

Di sisi lain kita juga dapat menemukan heroisme para sahabat dalam mencari keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala, mereka yang memiliki harta dengan mengorbankan untuk agama, mereka yang memiliki tekad belajar rela melakukan apapun demi mendapatkan ilmu dari sisi Rasulullah, dan mereka yang memiliki keterampilan memimpin pasukan, senantiasa menghabiskan umur dan tenaganya untuk memenangkan agama Allah.

Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa jika benar-benar ingin merasakan manisnya Iman di dalam hati, maka tidak ada cara lain kecuali menguatkan niat, memantapkan tekad untuk terjun langsung melakukan hal-hal yang strategis lagi dibutuhkan untuk kemaslahatan umat Islam.

Tanpa itu maka boleh jadi kita hanya akan menjadi seorang Muslim yang belum pernah benar-benar merasakan manisnya iman dan pada saat yang sama kita hanya menjadi pribadi yang merasa puas dan cukup menjadi Muslim yang hanya menjalankan ibadah-ibadah ritual, namun abai dalam menjalankan fungsi diri sebagai pemimpin, khalifah Allah di muka bumi ini.

Seperti ditegaskan oleh Iqbal dalam bukunya “Rekonstruksi Pemikiran Religius di dalam Islam” bahwa Al-Quran adalah sebuah kitab yang menekankan ‘perbuatan’ daripada ‘pemikiran,’ ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang keindahannya hanya bisa ditampilkan manakah umatnya benar-benar siap untuk menjadi garda yang terdepan dalam mengamalkan ajaran Islam.*


*Sumber* Hidayatullah.com

Empat Adab dalam Menuntut Ilmu

Image Source : Pixabay

*ADAB* mencari ilmu selama ini sering diabaikan. Hubungan antara murid dan guru tak ubahnya penjual dan pembeli. Si murid merasa telah membayar SPP dan uang gedung dengan nilai nominal yang tidak murah sehingga penghormatan kepada guru dianggap sebagai hal yang bukan acuan utama.

Kini, saatnya kita kembali mendulang adab-adab mencari ilmu yang telah dipanggungkan oleh para ulama sehingga ilmu dapat memberi manfaat, bukan hanya pada tataran duniawi, namun juga pada tataran ukhrawi.

Habib Zain bin Ibrahim bin Sumait dengan ketajaman analisa dan penanya, mementaskan empat adab bagi pencari ilmu.


*Adab pertama* bagi seorang pencari ilmu ialah _*menyucikan hati dari segala pelanggaran-pelanggaran yang dimurkai Allah.*_

Adab pertama ini memberi gambaran kepada kita bahwa sebelum memulai aktivitasnya, terlebih dahulu seorang pencari ilmu mengevaluasi kondisi hati. Adakah penyakit hati yang masih mengendap dalam dirinya sehingga ia harus membersihkannya terlebih dahulu?
Imam Nawawi dalam mukaddimhn Syarh Al-Muhadzdzab berkata: “Seyogyanya bagi seorang penuntut ilmu menyucikan hatinya dari kotoran-kotoran sehingga ia layak menerima ilmu, menghafal, dan memanfaatkannya.”

Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad memberi perumpaan yang sungguh indah tentang hati yang kotor. Beliau mengatakan, “Jika seseorang datang dengan membawa sebuah wadah kotor untuk diisi madu di dalamnya, maka orang yang akan membeli madu tersebut pasti akan berkata, Cucilah terlebih dahulu wadah yang kotor ini, baru kamu isi dengan madu.”

Kata Imam Abdullah, “Dalam masalah dunia saja, wadah yang kotor perlu dibersihkan, maka bagaimana dapat rahasia-rahasia ilmu Allah itu justru diletakkan di dalam hati-hati yang dekil?”
Pada satu kesempatan, Imam Malik memberi nasihat kepada muridnya Imam Syafi`i. Kala itu, Sang Guru merasa takjub dengan kecerdasan yang dimiliki oleh Syafi`i. Nasihat tersebut bunyinya, “Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah. Jauhilah maksiat. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala telah meletakkan cahaya di dalam hatimu maka janganlah kamu padamkan dengan maksiat-maksiat kepada-Nya.”

Adab pertama ini merupakan langkah awal bagi para pencari ilmu, tak terkecuali para guru, untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakit yang malah menjadi penghalang masuknya ilmu dalam sanubari.

Ilmu tidak terletak pada ijazah, raport, dan gelar akademik semata, tapi pada manfaat dan amal sebagai buahnya ilmu. Dan, itu tak akan mungkin terwujud tanpa hati yang bersih.


*Adab kedua*, menurut Habib Zain, adalah _*ikhlas karena Allah di dalam mencari ilmu.*

_ Seseorang tidak diperkenankan mencari ilmu dengan kemuliaan diri yang melekat. Seorang pencari ilmu mesti ikhlas karena Allah. Dengan modal ikhlas tersebut, ia berusaha membuat hati gurunya ridha mengangkat dan mengakui sebagai murid setianya.

Suatu hari, Abdullah bin Abbas membawa tali pengikat kendaraan gurunya Ubay bin Ka`ab. Ia tuntun kendaraan gurunya itu. Sang guru bertanya, “Ada apa ini, wahai putra Abbas?” Dijawab, “Demikianlah kami diperintahkan untuk menghormati guru-guru kami.” Abdullah tetap memandu jalannya kendaraan sang guru sampai ke tempat tujuan.

Sufyan bin Uyainah berkata, “Saat aku berusia empat tahun, aku telah dapat membaca Al-Qur`an. Saat berusia tujuh tahun, aku telah dapat menulis hadits. Saat berusia lima belas tahun, ayahku berkata kepadaku:

‘Wahai anakku, sekarang engkau telah beranjak dewasa. Maka lakukanlah kebaikan niscaya engkau akan termasuk sebagai ahli kebaikan. Ketahuilah, seseorang tidak akan diberi kebahagiaan berkumpul dengan para ulama kecuali orang yang taat kepada mereka. Maka taatilah para ulama, niscaya engkau akan memperoleh kebahagiaan. Berkhidmatlah kepada mereka, pasti engkau akan mendapatkan ilmu mereka.’

Kata Sufyan, “Sejak mendengar nasihat ayahku tersebut, aku selalu condong kepada para ulama, tidak berpaling sedikitpun dari mereka.”

Adab kedua memberi pengertian bahwa _*pencari ilmu mesti menanggalkan kebanggaan nasab, kedudukan, dan harta yang ia miliki.*_ Ia lepaskan demi terjun secara total meraih ilmu lewat para guru dan ulama dengan _*penuh keihlasan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.*_


*Adab ketiga* yang harus ada pada diri penuntut ilmu adalah _*mengambil faedah (manfaat) di mana saja berada.*

_ Pencari ilmu mesti jeli melihat, mengamati, dan meraih manfaat dari tiap jengkal langkah hidupnya. Tidaklah berlalu sesaat dari umurnya, kecuali ia isi dengan kemanfaatan.

Abu Al-Bakhtary berkata: “Duduk bersama suatu kaum yang lebih mempunyai ilmu daripada saya, lebih saya sukai ditimbang bersama kaum yang derajat ilmunya di bawah diriku” Mengapa? Jawabnya, “Karena, jika aku duduk bersama kaum yang derajat pengetahuannya di bawahku, aku tidak bisa mengambil manfaat. Namun jika aku duduk bersama orang-orang yang lebih berilmu dari diri saya ini, aku bisa mengambil manfaat sebanyak-banyaknya.”


*Adab keempat* yang disebutkan oleh Habib Zain adalah _*bersikap sederhana dalam mengonsumsi makanan dan minuman*.

_ Makan dan minum adalah kebiasaan siapa saja. Manusia makan dan minum untuk hidup. Namun hal demikian tidak lantas menjadi alasan untuk berlebih-lebihan, khususnya bagi pencari ilmu.
Bahkan, seorang ulama bernama Sahnun berkata: “Ilmu tidak akan diperoleh bagi orang yang makan hingga kekenyangan.”

Dalam wasiat penuh hikmah dari Lukman Al-Hakim kepada putranya, ia berkata: “Wahai anakku, jika perut telah terisi penuh pikiran akan tertidur, hikmah akan berhenti mengalir, dan badan akan lumpuh dari beribadah.”

Imam Syafi`i berkata, “Aku tidak pernah merasa kenyang sejak enam belas tahun silam. Karena kekenyangan itu membebani badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, membuat kantuk, dan melemahkan orang tersebut dari beribadah.”

Demikianlah empat etika yang dipaparkan oleh Habib Zain seputar adab bagi manusia-manusia yang menceburkan dirinya dalam lautan ilmu. Ambillah ilmu yang hendak kita miliki sebanyak-banyaknya namun janganlah kita absen dari adab. Dengan empat adab tersebut, ilmu menjadi berkah untuk semua.*


*Sumber*
Hidayatullah.com
Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil
Penulis pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang. Pengasuh Grup Qolbun Salim.

Menjadi Muslim Visioner

Image Source : Pixabay

*PERNAHKAH* melintas bahkan mungkin berkelebat dalam benak kita, mengapa heroisme para sahabat dalam ber-Islam sedemikian hebat, sampai hampir-hampir sebagian besar kaum Muslimin di abad ini meyakini diri mereka tak akan mampu dan bukan tindakan yang tepat meneladani keberanian para sahabat dalam menjalankan dan membela Islam.

Mari kita kembali teliti sebagian dari para sahabat Nabi yang mulia. Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu misalnya, pada usia 15 tahun telah bergabung dalam pasukan perang Khandaq dan peperangan sesudahnya bersama Rasulullah. Sepeninggal Rasulullah, Abdullah bin Umar tergabung dalam perang Yarmuk, Qadisiyah, ikut dalam penaklukkan Mesir dan ikut dalam perang melawan orang-orang Persia.

Lantas, apa yang kemudian disampaikan oleh Ibn Umar. “Kemenangan dalam jihad berkaitan erat dengan perbaikan jiwa.” Oleh karena itu Abdullah bin Umar langsung membacakan ayat Al-Qur’an kepada seseorang yang menyatakan dirinya ingin menjual dirinya kepada Allah, ikut berjihad dan gugur di jalan-Nya.

ٱلتَّـٰٓٮِٕبُونَٱلۡعَـٰبِدُونَٱلۡحَـٰمِدُونَٱلسَّـٰٓٮِٕحُونَٱلرَّٲڪِعُونَٱلسَّـٰجِدُونَٱلۡأَمِرُونَبِٱلۡمَعۡرُوفِوَٱلنَّاهُونَعَنِٱلۡمُنڪَرِوَٱلۡحَـٰفِظُون
لِحُدُودِٱللَّهِ‌ۗوَبَشِّرِٱلۡمُؤۡمِنِينَ

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, beribadah, memuji (Allah), mengembara (demi ilmu dan agama), rukuk, sujud, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah [9]: 112).

Kemudian, mari kita lihat bagaimana sikap seorang Tsabit bin Qais yang mewakili kaum Anshar dalam melihat nilai, akhir dari niat dan tujuannya membela Rasulullah. Tsabit bin Qais adalah seorang yang pandai berorasi, sehingga dia termasuk orator kepercayaan orang-orang Anshar.

Saat Nabi Muhammad datang ke Madinah Al-Munawwarah, Tsabit bin Qais berkhutbah. Dengan suara lantang ia berkata, “Kami akan melindungimu sebagaimana kami melindungi jiwa dan anak-anak kami. Lalu apa yang kami dapatkan?’ Rasulullah menjawab, ‘Surga.’ Mewakili kaum Anshar, Tsabit bin Qais berkata, “Kami rela.”

Hidup memang tidak bisa lepas dari transaksi. Tetapi, orang-orang beriman tidak mungkin mau bertransaksi dengan makhluk yang selain pasti rugi lahir-bathin juga berujung pada kesengsaraan. Dua gambaran di atas adalah bukti bahwa orang beriman itu bertransaksinya dengan Allah Ta’ala, dan itulah sebaik-baik visi dalam kehidupan dunia ini.

إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٲلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَ‌

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At-Taubáh [9]: 111).

Terhadap ayat tersebut, Ibn Katsir dalam tafsirnya menulis, “Allah memberitahu, bahwa Dia akan memberikan ganti atas diri dan harta benda hamba-hamba-Nya yang beriman, karena mereka telah rela mengorbankanya di jalan Allah, digantinya dengan Surga. Yang demikian itu merupakan karunia, kemuliaan dan kebaikan-Nya.

Hasan Al-Bashri dan Qatadah berkata, “Sesungguhnya Allah telah membeli mereka. Demi Allah, harga mereka menjadi sangat mahal.”

Inilah keadaan yang menjadi visi setiap Muslim dan Mukmin. Mereka sama sekali tidak tertarik dengan janji-janji manusia, apalagi yang secara nyata jahil yang karena itu memusuhi agama Allah. Pantas jika kemudian Ibn Al-Jauzi dalam bukunya Shaidul Khatir mendorong diri kita untuk benar-benar memiliki visi yang jauh.

Visi itu harus ditandai dengan *adanya kecermatan diri dalam melihat kesudahan dari segala perkara dan pilihan tindakan yang dipilih*. Misalnya, seorang Muslim ingin bahagia dunia-akhirat, menjalankan praktik riba, membiasakan dusta, adalah jalan yang pasti akan dijauhinya. Sebab, jika tidak, kebahagiaan dari siapa yang didambakannya dan diyakini pasti bisa diraihnya?

Maka seorang Abdullah bin Umar tidak mau kehilangan kesempatan usia muda. Digunakannya waktu dan energi mudanya untuk membela agama Allah. Dirinya tidak mau terpedaya dengan masa muda, sehingga terus-menerus larut dalam maksiat, dan menunda-nunda taubat.

Jadi, tidak benar ungkapan bahwa masjid untuk 60 tahun ke atas. Sebab, menjauhkan diri dari jihad pada usia produktif adalah ciri diri belum memiliki visi yang semestinya.

Bahkan seorang Muslim yang visioner akan benar-benar meresapi apa yang disampaikan oleh Syaiban Ar-Ra’i kepada Sufyan. “Wahai Sufyan! Anggaplah bahwa nikmat yang Allah halangi darimu adalah pemberian dari-Nya untukmu, karena Dia tidak menghalangimu karena kikir, namun Dia menghalangimu karena kasih-Nya.”
Dan, terhadap ucapan tersebut, Ibn Al-Jauzi menyampaikan, “Ternyata aku perhatikan itu adalah ucapan orang yang telah mengetahui hakikat perkara.”

Dari sini teranglah bahwa mengapa heroisme keimanan para sahabat sangat luar biasa. Tidak lain karena mereka memiliki visi yang jauh. Mereka melakukan transaksi, tetapi hanya dengan Allah. Diserahkan jiwa raganya untuk Allah, sehingga dengan itulah mereka mengharapkan keridhoan Allah, sebaik-baik dan paling terjaminnya transaksi dalam kehidupan fana ini.

Jika ada Muslim, Mukmin yang orientasi hidupnya masih mengalami penyimpangan, boleh jadi visinya melenceng dan karena itu ia tidak lagi memperhatikan jiwanya. Rasionya mungkin terus diasah, tetapi tajamnya bukan pada kebaikan dirinya sendiri, apalagi orang lain. Tetapi malah menyembelih diri sendiri.

Ia hanya akan menjadi seorang yang menyesal dan seperti yang diungkapkan oleh sahabat Jallaudin Rumi dari Tabriz, “Jika Ilmu tak membuatmu telanjang dari hawa nafsu. Sungguh kedunguan lebih baik bagimu.” Untuk itu, mari menjadi Muslim yang visioner, yang bahagia bukan karena limpahan benda-benda, pujian dan tepuk tangan manusia. Tetapi karena lelah berjuang, berkorban untuk ikut serta menegakkan agama Allah.
_Wallahu a’lam.._



*Sumber*
Hidayatullah.com

Nabi Yahya, Pemuda yang Dirindu Sejarah

"wa salaamun ‘alayhi yawma wulida wa yawma yamuut wa yawma yub’atsuun," Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahi...