Rabu, 22 April 2020

Nabi Yahya, Pemuda yang Dirindu Sejarah



"wa salaamun ‘alayhi yawma wulida wa yawma yamuut wa yawma yub’atsuun,"

Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali. (QS. Maryam : 33)



Nabi Yahya, Pemuda yang Dirindu Sejarah

Hai Yahya, pelajarilah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak, (Maryam : 12)

Alquran selalu ajaib. Lebih ajaib lagi, ketika dalam ayat-ayatnya kita menemukan rumus hidup yang menggairahkan, menginspirasi, menjadi ilham dalam menjalani ruang dan waktu. Salah satu keajaibannya adalah; Alquran banyak menceritakan kisah-kisah pemuda. Baginda Ibrahim, ketika beliau menghancurkan berhala-berhala, beliau sedang remaja. Nabiyullah Daud, memenangkan perang melawan Goliath, ketika beliau sedang remaja.

Nabi Ismail, ketika beliau ridho dan sabar rela menerima perintah penyembelihan dirinya, beliau sedang remaja. Ashabul Kahfi yang melegenda, bersembunyi di goa dan Allah istirahatkan mereka selama 309 tahun menjaga keyakinan mereka, Allah dengan paripurna menjelaskan dengan gagahnya, “Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk” (Al-kahfi : 13)

Kepada para pemuda
Yang merindu lahirnya kejayaan …
Kepada umat yang tengah
Kebingungan di persimpangan jalan …
Kepada para pewaris peradaban yang kaya raya,
Yang telah menggoreskan catatan membanggakan
Di lembar sejarah umat manusia …
(Hasan Al-Banna)


Dalam roda sejarah ini, Allah mengilhamkan pada kita satu hal yang begitu penting. Dari kalam-Nya Allah jelaskan 6000 ayat cerita yang sebagian besarnya menjadikan pemuda sebagai aktor inti sejarah. “Oleh karena itu”, tulis Ustadz Hasan Al-Banna, “sejak dulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan, pemuda merupakan rahasia kekuatannya. Dalam setiap fikrah, pemuda adalah pengibar panji-panjinya.”


Yahya The Inspiration

Termasuk Nabi Yahya bin Zakaria. Seorang yang “membenarkan kalimat yang datang dari Allah, menjadi teladan, menahan diri dari hawa nafsu dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”, dalam firman Allah di Ali Imran ayat 39.

Beliau lahir dari penantian panjang dan doa-doa yang tidak pernah terputus. Beliau adalah regenerasi lelaki sholeh penjaga Masjid Al-Aqsha, Nabi Zakaria alaihissalam. Nabi Yahya bukan sekadar seseorang yang lahir dari proses yang biasa. Kelahirannya dihiasi dengan sejarah yang melegenda; tentang Nabi Zakaria yang tak berhenti berharap, tentang kuasa Allah membuat Istri Nabi Zakaria yang telah sepuh ternyata bisa kembali mengandung, dan tentang keberkahan Baitul Maqdis.

Mengapa membahas nabi Yahya menjadi sesuatu yang istimewa? Sebab beliau menjadi gambaran remaja yang dianugerahi Allah ilmu dan kebijaksanaan. Ketika remaja lain masih sibuk bermain-main, Allah memberi Yahya muda sebuah resep hidup khusus, yang kelak akan melahirkan kepribadian melampaui zamannya, melampaui usianya.

Alquran menggambarkan nilai hidup Nabi Yahya dengan bahasa yang memikat, 

“Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan, pada hari ia meninggal, dan pada hari ia dibangkitkan kembali”

terabadikan dalam ayat 15 Surah Maryam. Perhatikan, Allah memberkahi Nabi Yahya dalam 3 keadaan yang didambakan kebaikannya oleh semua manusia; Satu, awal hidupnya disayangi. Dua, ketika ia wafat pun dicintai. Dan tiga, bahkan ketika ia bangkit di hari penghakiman nanti, rahmat turun menghiasi.

Apa sebab keistimewaan Nabi Yahya itu? Ayat-ayat ini menjawabnya cerdas.


Masa Muda, In Search Of Wisdom

“Dan kami berikan padanya hikmah selagi dia masih kanak-kanak” (Maryam : 12)

Ketika kita menengok sejarah orang-orang besar, mereka menjalani sebuah percepatan cara berfikir yang melebihi kawan-kawan seusianya. Soekarno, ketika usianya 18 tahun, telah berkeliling Jawa menemani HOS Tjokroaminoto dalam rapat-rapat dan diskusi menentukan konsep sebuah Negara. Badiuzzaman Said Nursi, ia digelari ‘keajaiban zaman’ sebab di usianya yang belia -di usianya 15 tahun- ia telah menjadi rujukan Ulama di zamannya, memenangkan debat, dan menguasai banyak cabang keilmuan.

Menjadi bijaksana pada saat remaja adalah salah satu tanda kebesaran jiwa, berhasilnya pendidikan orangtuanya, dan buah dari penjelajahan dirinya atas keadaan masyarakatnya. Begitulah kisah Ibrahim yang peka melihat bulan, mentari dan bintang. Begitulah kisah Musa yang menggugat kezaliman Firaun atas sebuah bangsa. Begitulah kisah Daud yang menduduki peringkat teratas kualitas bani Israil kala melawan Jalut.

Maka sejatinya, bukan kesalahan jika seharusnya generasi muda Islam dibekali kemampuan nalar yang baik, dididik untuk mempunyai narasi yang tertata dan lihai dalam menciptakan sebuah ide. Sebab begitulah mata air sejarah bicara, kisah orang besar diawali dari masa muda cemerlang. Kisah para pahlawan diawali dari kebijaksanaannya semenjak remaja. Bukan karena ia tak mau bermain, tapi karena ia sadar hidupnya harus bernilai untuk semesta.

“Orang yang bertambah pengetahuannya, bertambahlah pula kebijaksanaannya”, kata Ustadz Anis Matta melengkapi narasi kebijaksanaan.


See Beyond The Eyes Can See

“Dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi kami dan kesucian dari dosa” (Maryam : 13)

Nabi Yahya semenjak belia telah dianugerahi Allah rasa kasih sayang-Nya. Pula, dengan karunia itu, Nabi Yahya menjadi orang yang punya kepribadian harmoni. Ia suka berbagi, gemar memberi, inti dari hidupnya adalah menebar cinta dan keadilan. Dan satu yang menonjol; kepekaan nurani.

Tidak mungkin seorang pemikir besar bisa menemukan ide-idenya jika ia tak peka melihat keadaan sekitarnya. Kepekaan adalah sumber inspirasi, dan juga akar kegelisahan spiritual. Jika tidak peka, mana mungkin Nabi Muhammad ber-uzlah menyendiri di Gua Hira? Jika tidak gelisah memikirkan Kaumnya, Nabi Yunus akan lebih memilih apatis dan masa bodoh ummatnya mau diapakan.

Kepekaan adalah bakat bagi para pahlawan, akar gagasan bagi para pemikir, dan tanda tinggi ilmu para Ulama. Sebab “hanya Ahli mutiaralah yang tau tinggi kadar mutiara”, kata Ulama. Seorang awam akan biasa saja melihat langit mendung, tapi bagi seorang petani awan mendung adalah hidup baru bagi tanaman padi, bagi Ahli Sains adalah wujud sirkulasi air dari laut membentuk awan, bagi Ulama adalah tanda kekuasaan Allah. Kepekaan adalah hasil dari tajamnya mata hati, sebab pengetahuan.


Mencari Ridha Ke Mata Airnya

“Dan dia adalah seorang yang bertaqwa, dan banyak berbakti pada kedua Orangtuanya” (Maryam : 14)

“Ridha Allah”, kata Rasulullah, “ada pada ridha Orangtua, dan kebencian Allah ada pada kebencian Orangtua”. Ada sebuah jarak yang memisahkan antara mimpi kita dan kesuksesan kita, dan di jarak itulah kita selalu ditimpa kegelisahan, di jarak itulah banyak tantangan yang membadai datang silih berganti. Namun ada satu jalan yang membuat kegelisahan itu terkikis, ada satu cara yang membuat kita melaju menuju pintu sukses lebih awal; ridha Ayah dan Ibu.

Nabi Yahya taat betul pada ayahnya, Zakariya alaiahissalam. Mereka berdua adalah teladan ayah dan anak yang memiliki kesatuan visi dan misi, satu cita-cita agung dan soliditas yang rekat. Dalam naungan baitul Maqdis Palestina, Nabi Zakariya dan Nabi Yahya menjadi duo penjaga Al-Aqsha yang menebarkan keadilan dan ajaran taurat, juga menyelesaikan masalah-masalah masyarakat.

Mengapa taat pada Orangtua?
Sebab doanya selalu ajaib. Jika ayah dan ibu murka, maka saat itu juga Allah akan memporak porandakan mimpi kita, yang tadinya kelihatan lancar dan mulus menjadi lebur dan pupus. Betapa banyak kisah sudah cukup jadi cermin hidup, agar kita tak main-main dalam mencari ridha, agar lisan dan perbuatan tak boleh membuat hati Orangtua kita teriris.

Jika kita lihat ada orang yang tanpa ridha orangtuanya bisa berjaya, sebenarnya Allah sedang bersiap menjatuhkannya dari ketinggian agar makin sakit penderitaannya. Percayalah, akan banyak keajaiban dan percepatan hidup jika kita memutuskan untuk hidup membahagiakan Ayah dan Ibu kita.


Pribadi Yang Membumi, Jiwanya Melangit

“dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (Maryam : 14)

Ketika diberi kebijaksanaan, diberi anugerah melimpah nan berkah, Nabi Yahya bukan menjauh dari manusia, justru beliau berjalan di tempat rakyat berjalan, menyeru dengan bahasa yang sederhana. Itulah mengapa ia menjadi pemimpin rakyat yang menunjukkan mereka pada gerbang-gerbang keadilan.

Karakter pemuda dengan ilmu yang dalam selalu menjadi bintang di masyarakatnya. Begitulah sejarah bicara dan memberikan satu teladan; Nabi Yahya walaupun beliau masih muda, beliau telah diberi amanah oleh Allah untuk mengajarkan Taurat. Sifat-sifat bijaksana, kepekaan yang tajam, bertaqwa dan berbakti pada Ayah Ibunya, membuat Nabi Yahya menjadi pemuda dengan karakter pengayom, sebuah role model untuk ditiru oleh masyarakat di sekitarnya.

Jika orang dengan kecerdasannya malah angkuh, berarti cerdasnya cerdas ompong. Jika orang dengan ketinggian gelarnya malah sewenang-wenang, berarti gelarnya gelar dusta. Jika orang dengan ketinggian namanya malah sombong, berarti sejatinya ia rendah. Tak perlu jauh-jauh mencari teladan ke Barat dan ke Timur, Alquran telah berikan model terbaiknya. Nabi Yahya inspirasinya.


Apa Muara Inspirasi Yahya?

Lalu akhirnya timbul sebuah tanda tanya besar. Apa yang membuat Nabi Yahya dianugerahi kebijaksanaan di waktu belia? Apa yang membuat beliau begitu taqwa dan patuh pada Ayah Ibunya? Apa yang membuat beliau begitu membumi dan santun bersikap, tak sombong dan tak pula durhaka?

Sebelum sifat-sifat mulia itu muncul, Allah mula-mula memberinya satu kaidah paripurna…

“Hai Yahya, pelajarilah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh” (Maryam : 12)

“Sungguh-sungguh dalam memahami, sungguh-sungguh dalam mengemban dan  berdakwah, sungguh-sungguh dalam mengamalkan dan kesabaran, serta sungguh-sungguh dalam keimanan dan keyakinan pada Kitabnya”, tulis Syaikh Muhammad Said Hawwa dalam bukunya Shinaatus Syabab. Kini Taurat telah tersempurnakan oleh Alquran. Hingga benarlah jika Alquran adalah muara inspirasi bagi setiap pemuda yang ingin berkarya dan berjaya.


*Sumber :* dakwatuna.com
*Penulis :* Edgar Hamas. Mahasiswa Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir | Alumni SMPIT Ihsanul Fikri Mungkid Magelang | Alumni Ponpes Husnul Khotimah Kuningan


Minggu, 19 April 2020

Li i'la'i Kalimatillah


Setiap muslim hendaknya memalingkan seluruh maksud hidupnya dari keduniaan hanya untuk li i'la'i kalimatillah (meninggikan kalimat Allah) dan penyebaran Islam, serta membiasakan diri dalam mentaati Allah dan memelihara Islam. Kemudian berjanji dengan sungguh-sungguh akan mentaati perintah Allah dan berusaha keras mengamalkannya, tanpa mendurhakai-Nya sedikit pun.

Untuk menyempurnakan maksud ini, hendaknya kita selalu membiasakan diri dalam mengamalkannya, yaitu dengan amalan sebagai berikut :


1. Mengucapkan kalimat :
"Tiada Tuhan (Ilah) kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah."
Dengan ucapan yang benar dan berusaha memahami makna kalimat tersebut dengan benar, serta memasukkannya ke dalam pikiran dan berusaha untuk mengamalkannya serta menerapkannya dalam kehidupan kita.


2. Berdisiplin dalam shalat dengan menjaga adab dan rukun-rukun shalat, dan menunaikannya dengan khusyu' dan khudhu'. Hendaknya kita sertakan kebesaran serta keagungan Allah dan kehambaan serta kelemahan kita dalam pikiran kita di setiap rukun, seakan-akan kita hadir di hadapan Allah SWT. Selain itu, hendaknya selalu memohon taufik kepada Allah agar mendapatkan mutu shalat seperti itu. Jika kita belum mengetahui cara-cara shalat yang benar, kita mesti mempelajarinya dan berusaha mengingat serta memahami semua bacaan shalat.


3. Senantiasa membaca Al-Quran dan berusaha mewujudkan cinta terhadap Al-Quran pada diri kita. Hal ini didapat dengan dua cara:


a. Menyisihkan waktu setiap hari untuk membaca Al-Quran disertai adab dan ta'zhim kepadanya serta merenungkan makna-maknanya. Jika bukan orang alim dan tidak memahami maknanya, tetaplah membacanya walaupun tidak memahami maknanya. Kita perlu meyakini bahwa kebahagiaan dan kesuksesan tersimpan di sini, dan hanya dengan membaca lafazh-Nya saja merupakan karunia yang besar, karena akan mendatangkan rahmat dan berkah. Apabila membaca saja tidak dapat, hendaknya menyisihkan waktu untuk belajar membacanya setiap hari.

b. Mengajarkan Al-Quran kepada anak-anak kita dan anak-anak di tempat kita, baik laki-laki maupun perempuan. Berpikirlah untuk menghidupkan pendidikan agama serta mengutamakannya dari kerja-kerja lainnya.


4. Menyisihkan waktu untuk mengingat Allah, yaitu dengan berdzikir dan tafakkur. Dalam hal ini, hendaknya mencari bimbingan seorang ulama mursyid yang mengamalkan sunah-sunah Rasul. Jika tidak ada bimbingan guru dalam dzikir ini, hendaklah membiasakan diri membaca kalimat :
Subhanallah, Alhamdulillah, Laa ilaaha illallah, Allahu akbar
Setiap pagi dan sore hari, dengan tambahan shalawat dan istighfar seratus kali yang  dibaca dengan tawajjuh dan ketenangan hati, karena di dalam hadits banyak disebutkan fadhilahnya.


5. Menganggap bahwa setiap muslim sebagai saudara. Oleh sebab itu, hendaknya saling menyayangi, berbagi rasa, menghormati, dan memuliakan sesama muslim karena keislamannya. Hindarilah hal-hal yang dapat menimbulkan penderitaan dan kesusahan ke atas saudara muslim lainnya.


Lima hal di atas hendaknya diusahakan dan diamalkan oleh setiap muslim dan dianjurkan kepada saudara se-Islam agar mereka juga menjaga dan mengamalkannya.

Caranya adalah, kita sendiri menyisihkan waktu untuk agama dan menganjurkan orang lain agar mereka juga meluangkan waktu untuk berkhidmat dalam penyebaran Islam ini. Para Nabi, sahabat, dan para shalihin dahulu telah mengalami berbagai kesusahan dalam memperjuangkan Islam. Para sahabat dan pendahulu kita telah menghabiskan umur mereka untuk agama dan jiwa mereka di jalan Allah. Oleh karena itu, jika kita tidak mengorbankan sedikit dari harta dan jiwa kita untuk agama Allah ini, niscaya kita berada dalam kerugian yang sangat besar. Inilah tanggung jawab yang telah kita tinggalkan sehingga kita sekarang berada dalam kebinasaan.

Dahulu, orang Islam memahami bahwa dengan menjadi seorang muslim berarti mesti mengorbankan harta, jiwa, kemuliaan, dan kehormatannya semata-mata demi penyebaran Islam dan Li i'la'i kalimatillah. Dan barangsiapa yang tidak memiliki pemahaman seperti ini, maka ia dianggap orang yang bodoh. Patut disayangkan bahwa kita yang dikenal sebagai orang Islam, namun ketika melihat Islam terlantar di depan mata kita, kita tidak berusaha untuk menjaga dan memeliharanya.

Ii 'ila-i Kalimatillah adalah maksud hidup setiap orang Islam, kerja asali setiap muslim, dan penyebab kejayaan dan kemajuan dunia akhirat, yang jika kita tinggalkan, kita akan menjadi terhina. Hendaknya kita usahakan agar tetap menjadi maksud hidup kita dan menjadikannya sebagai kesibukan kita yang utama dalam hidup ini, sehingga kita akan dicucuri rahmat oleh Allah dan kita akan mendapatkan kejayaan dan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Minggu, 09 Februari 2020

Mari Wariskan Islam pada Generasi Muda

DALAM  surah al-Baqarah ayat 133, Allah mengisahkan detik-detik terakhir menjelang wafatnya Nabi Ya’qub ‘alaihis salam.

Dalam suasana kritis itu, beliau tidak gelisah memikirkan warisan harta untuk anak-anaknya, namun warisan keyakinan yang kelak mereka pegang. Al-Qur’an merekamnya sebagai berikut;

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَـهَكَ وَإِلَـهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ  
 “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut; ketika ia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa, dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”

Demikian pulalah semestinya kita sebagai orangtua. Masalah yang harus menjadi prioritas pertama – dalam kaitannya dengan anak – adalah keyakinan dan nilai-nilai kehidupan, bukan uang dan materi.

Sebab, terkait rezeki, pada dasarnya setiap orang telah dijamin oleh Allah sejak ruhnya pertamakali ditiupkan, ketika ia masih berupa janin dalam perut ibunya. Hal ini sudah dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang juga termaktub dalam kumpulan hadits Arba’in Nawawiyah nomer 4.

Akan tetapi, untuk masalah keyakinan dan iman, Allah tidak menjaminnya samasekali. Tidak ada jaminan bahwa putra seorang ahli ibadah akan seshalih ayahnya, bahkan putra Nabi pun tidak. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disuruh untuk mulai berdakwah secara terang-terangan, setelah sebelumnya berdakwah secara sembunyi-sembunyi, maka beliau pun naik ke bukit Shofa dan berseru;
“Wahai Bani Abdu Manaf, belilah diri kalian dari Allah! Wahai Bani ‘Abdul Mutthalib, belilah diri kalian dari Allah! Wahai ibunda Zubair bin ‘Awwam (yakni: Shafiyah), bibi Rasulullah; wahai Fathimah binti Muhammad, belilah diri kalian berdua dari Allah! Aku tidak punya (jaminan) apa-apa untuk kalian dari Allah! Tetapi kalian boleh meminta dari hartaku sekehendak kalian!” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah). 

Yang dimaksud “belilah diri kalian dari Allah” adalah anjuran beriman dan beramal shalih; tidak mengandalkan dekatnya kekerabatan mereka dengan Rasulullah. Jika putri dan keluarga dekat beliau saja tidak dijamin masuk surga tanpa iman dan amal, apalagi kita!

Kisah Nabi Ya’qub di atas disitir oleh al-Qur’an jelas bukan sekedar informasi, namun sebagai pelajaran (‘ibrah) dan suri tauladan (uswatun hasanah). Demikian pula kisah para Nabi terdahulu bersama umatnya (lihat Qs. Yusuf: 111 dan al-Mumtahanah: 4-6).

Masalah ini sangat penting dikemukakan karena gempuran ideologi dan budaya asing sangat masif menyerbu anak-anak kita. Jika sekarang kita masih mengenal Allah, bershalawat kepada Nabi, mengimani Islam, menegakkan shalat, dan pergi berhaji ke Baitullah, maka masih demikian pulakah kehidupan anak-cucu kita dalam rentang 30, 50, 70 tahun yang akan datang? Jika semua orangtua yang kini hidup dalam generasi kita telah pergi, masihkah adzan berkumandang di negeri ini? Sebenarnyalah, tidak ada jaminan untuk masalah itu.

Andalusia adalah contoh spektakuler sekaligus pilu. Sejak tahun 97 H (711 M), negeri itu diwarnai oleh tauhid dan sempat melahirkan nama-nama besar seperti Imam al-Qurthubi penyusun Tafsir al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr penyusun at-Tamhid, Imam Ibnu Hazm pengusung Madzhab Zhahiriyah, Ibnu Khaldun pakar sejarah dan Bapak Sosiologi, dan masih sangat banyak lagi.

Namun, mulai tahun 1236 M, setelah 5 abad lebih menerangi Eropa dengan cahaya Islam, tiba-tiba kegemilangannya direnggut dan dipadamkan secara brutal. Kini di Andalusia kita hanya melihat istana, masjid raya, jalanan, taman, dan aneka warisan fisik yang secara gamblang bercerita bahwa Islam pernah eksis disana. Tetapi, di mana umatnya? Sayangnya, mereka telah lama terusir.

Maka, kita harus mewariskan Islam kepada generasi muda. Jangan sampai kita menjadi angkatan terakhir yang melafalkan syahadat di rumah kita, di kampung kita, di kota kita, di pulau kita, di negeri kita.
Sebab, jika itu terjadi, pasti akan sangat sulit mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak. Mengapa? Sebab, sejak lebih dari 1400 tahun silam agama ini diwariskan dari generasi ke generasi, mulai zaman Rasulullah hingga era kita. Kini para pendahulu kita telah pergi menghadap Allah, dan menyerahkan tongkat estafet Risalah Islam kepada kita, untuk diteruskan kepada angkatan berikutnya.
Para Sahabat Nabi sangat getol memperhatikan masalah pewarisan agama dan nilai-nilai ini. Dan, bukti keseriusan mereka adalah sampainya Islam hingga ke zaman kita secara utuh. Dikisahkan bahwa dulu, di dekat Ka’bah, pernah ada sebuah halaqah.
Suatu saat, ‘Amr bin ‘Ash melewati mereka ketika beliau sedang berthawaf. Setelah menyelesaikan thawafnya, beliau datang ke halaqah tersebut dan berkata, “Mengapa aku melihat kalian menyingkirkan anak-anak itu dari majelis kalian? Jangan lakukan itu! Lapangkan untuk mereka, suruh mereka mendekat, dan fahamkanlah hadits kepada mereka. Sungguh, hari ini mereka adalah orang-orang termuda dari suatu kaum, dan sebentar lagi mereka akan menjadi orang-orang tertua dari kaum lainnya. Kami dulu pernah menjadi orang-orang termuda dari sebuah kaum, kemudian kami (sekarang) menjadi orang-orang tertua dari kaum lainnya.” (Riwayat al-Baihaqi dalam al-Madkhal).

Alhasil, kini amanah itu ada di pundak kita. Pertanyaannya adalah: “Bagaimana kita mengelola dan mewariskannya?” Bismillah, mari kita beramal! Wallahu a’lam.

*/Alimin Mukhtar, pengajar di PP Arrahmah Putri, Hidayatullah Malang

Rep: -
Editor: Cholis Akbar

Sabtu, 07 September 2019

Akhlaqmu Cerminan Sikapmu Pada Allah SWT

Image : Pixabay

"Segala sesuatu yang terjadi di hadapanmu, apapun itu, pada hakikatnya dihadirkan oleh Allah sebagai takdir/ketetapan-Nya untukmu, sebagai ujian untukmu, dan itu sudah tercatat di Lauh Mahfudz.. Sehingga respon kamu terhadapnya, apabila kamu mensikapinya dengan baik, maka sesungguhnya kamu telah berakhlaq baik pada Allah.. Namun, bila kamu mensikapinya secara negatif berarti kamu tidak menerima ketetapan Allah,  pada hakikatnya berarti telah  menyalahkan Allah, atau secara tidak  langsung berarti kamu tidak menerima apa-apa yang Allah hadirkan padamu.."

Minggu, 01 September 2019

Waspadai “Jebakan” Waktu Luang

Image Source : Pixabay

“SANTAI dulu ah, “ begitu biasanya orang jika ingin rehat sejenak dari aktivitasnya. Sebagaimana dimaklumi bersama, bersantai-santai menjadi kesenangan manusia. Orang senang menggunakan waktu luang-nya untuk rileks, ngobrol, bercanda, bergurau. Sebatas kewajaran untuk menghilangkan rasa lelah tentu masih bisa dimaklumi. Tapi bila sudah menjadi adat kebiasaan, ini yang dilarang.

Kelalaian terhadap eksistensi hiduplah yang sering membuat manusia melakukan tindakan tanpa didasari tujuan yang jelas. Semuanya berjalan alamiah, asal gerak, asal jalan, dan yang penting memperoleh kesenangan. Kesenangan yang bagaimana? Kesenangan yang tidak jelas dan cenderung fatamorgana.

Padahal waktu adalah persoalan yang sangat essensial. Dalam kehidupan kita, ia memegang peranan yang sangat penting. Kita tidak boleh bermain-main dengan waktu. Orang bijak berkata, “Waktu bagai pedang yang tidak boleh sembarang dipermainkan.” Itu sama sekali bukan berarti setiap hari kita harus tegang dan pasang urat kencang selalu. Hanya kita disuruh ekstra waspada dan berhati-hati dalam memanfaatkannya.

Betapa banyak tindak kejahatan yang terjadi justru karena kesalahan manusia memanfaatkan waktu luang. Mereka menjadi tergelincir ke lembah kejahatan, karena hilangnya kendali diri akibat salah pakai terhadap waktu luang tersebut.


*Terpedaya Nikmat*

Rasulullah adalah tauladan bagi umat Islam sedunia. Beliau memberi contoh kepada umatnya dalam memanfaatkan waktu dalam kehidupannya. Nabi tidak terlalu banyak tidur, karena di malam hari selalu bangun qiyamul lail hingga kakinya bengkak. Siang hari beliau menjadi pedagang, pendakwah, dan kepala pemerintahan yang sangat handal. Dalam waktu 23 tahun, beliau mampu membangun peradaban Islam. Beliau mengikuti 80 peperangan bersama para sahabatnya dalam waktu kurang dari 10 tahun.

Rasulullah pernah bersabda agar kita berhati-hati menghadapi kenikmatan. “Ada dua kenikmatan yang membuat banyak orang terpedaya yakni nikmat sehat dan waktu senggang (artinya, saat-saat sehat dan waktu senggang orang sering mempergunakannya untuk melakukan perbuatan yang terlarang).” (HR al-Bukhari)

Dalam al-Quran, dijelaskan mendalam makna memanfaatkan waktu.
وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْر
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْ

“Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan orang-orang yang senantiasa ingat-mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS al-‘Ashr: 1-3)

Melihat ayat tersebut, sungguh semua manusia itu berada dalam kerugian. Tidak ada seorangpun yang terbebas dari perkara rugi ini. Termasuk yang bila ditinjau dari segi fisik-ekonomi maju, karier berada pada posisi puncak, nama juga disebut-orang di mana-mana (melambung-lambung), kesenangan dan kebahagiaan juga telah terpenuhi. Mengapa mereka dikatagorikan sebagai orang rugi, padahal tidak miskin tidak papa?

Ada perangkat lain yang menjadi penilaian Allah. _Berimankah dia? Setelah beriman adakah ia menindaklanjutinya dengan amal shalih?_

Jadi kunci utamanya itu terletak pada *iman* dan *amal shalih*. Inilah yang menjadi perkecualian di antara semua yang rugi itu. Mengapa? Apabila ia beriman tentu kekayaannya tidak semata untuk memenuhi kebutuhan perut sendiri, keluarga dan sanak saudara. Apalagi di saat kondisi yang serba sulit seperti sekarang ini. Begitu banyak perut kaum muslimin yang kosong tak terisi nasi. Mereka menunggu bantuan uluran tangan dari saudara sesama kaum muslimin yang lain, yang bernasib lebih baik dari mereka.

Adalah Abu Hurairah. Ia memeluk Islam di usia 60 tahun. Namun ketika meninggal beliau mampu meriwayatkan 5374 hadits. Anas bin Malik, seorang pelayan Rasulullah sejak usia 10 tahun.  Selama bersama Nabi (20 tahun) beliau mampu meriwayatkan 2286 hadits. Juga Abul Hasan bin Abi Jaradah (548 H), sepanjang hidupnya beliau mampu menulis kitab-kitab penting sebanyak tiga lemari. Syeikh Ali At-Thantawi, mampu membaca 100-200 halaman setiap hari. Berarti dengan usianya yang 70 tahun, beliau sudah membaca 5.040.000 halaman buku.  Subhanallah, bagaimana dengan kita?


*Harga iman*

Waktu yang luang semestinya merupakan kesempatan untuk menunjukkan harga dari keimanannya. Cara untuk menunjukkan harga keimanan itu tidak lain adalah dengan beramal shalih. Amal shalih merupakan puncak nilai manusia di hadapan Allah. Bila segala puncak sudah diperoleh akan tetapi amal shalihnya kosong, maka perlu ditengok ulang keimanannya. Apakah benar keimanannya itu ada atau cuma sekadar ucapan yang menghibur-hibur diri.

Mari kita mengoreksi diri selagi masih hidup. Tidak keliru menengok ulang perbuatan pribadi yang sebenarnya akan menguntungkan bagi diri sendiri juga. Mari kita pertanyakan pada diri kita, _adakah nikmat sehat itu telah kita pergunakan sebaik-baiknya untuk memperbanyak amal shalih? Seberapa waktu kita untuk kita gunakan untuk agama ini?_

Nabi pernah bersabda, “Yang pertama kali ditanyakan dari kenikmatan-kenikmatan Allah kelak pada hari kiamat ialah ucapan, ‘Bukankah telah kami berikan kesehatan pada tubuhmu dan Kami berikan air minum yang sejuk?.'” (HR at-Tirmidzi)


*Maju atau Mundur*

Waktu luang pada dasarnya adalah kesempatan yang berharga. Ia banyak membuka peluang untuk maju atau mundur. Dengannya manusia dapat rusak atau baik. Allah berfirman kepada kita,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah. Dan perhatikanlah waktu yang telah engkau lewati untuk bekal mengarungi kehidupan waktu mendatang.” (QS al-Hasyr: 18)

Waktu mempunyai kedudukan penting dalam berjalannya aktivitas di alam semesta ini. Islam memiliki konsep yang jelas tentang waktu. Di antara beberapa konsep makna waktu dalam Islam adalah ajal. Sesuai terminologi, ajal berarti penetapan batas waktu. Dalam al-Qur’an, kata ajal mempunyai kecenderungan pada penetapan akan batas sesuatu (Yunus [10]:49:

لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ إِذَا جَاء أَجَلُهُمْ فَلاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ

“Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.”

Seorang alim mengatakan, waktu kita adalah umur kita. Sementara yang kita saksikan, manusia menggunakan umurnya dengan sesuatu yang aneh dan sia-sia.

Mari kita renungi kembali hari-hari dan waktu-waktu yang telah kita habiskan selama ini, dengan harapan agar bisa memanfaatkan waktu yang telah diberikan Allah kepada kita. Jangan sampai ketika baru menyesal tatkala nafas sudah di tenggorokan, di mana kala itu ajal sudah tak bisa dimajukan atau dimundurkan barang semenit-pun. Na’udzubillahi min dzaalik.


*Sumber*
Hidayatullah.com

Sabtu, 31 Agustus 2019

Ikhlas, Sumber Segala Kebahagiaan


*KETIKA* seseorang melakukan kebaikan namun tidak diiringi dengan keikhlasan maka bisa dipastikan bahwa ia akan senantiasa diliputi perasaan kecewa, lebih-lebih kala kebaikan yang dilakukannya tidak diapresiasi orang lain. Ia bahkan akan mengalami penurunan motivasi yang sangat drastis, hingga tidak ada lagi semangat sedikitpun untuk melakukan kebaikan.

Sebaliknya, jika ada apresiasi dari orang lain, semangat melakukan kebaikan akan kembali meningkat tajam disertai gairah yang sangat luar biasa. Akan tetapi, motivasi yang demikian, sebenarnya tidak mendatangkan apa-apa selain hanya menipu diri sendiri. Sebab, kita beramal tidak lagi karena Allah tapi karena manusia.

Padahal, Allah Ta’ala, memerintahkan kita beramal baik hanya karena-Nya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan;

قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَّهُ دِينِي

“Katakanlah: “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (QS. Az-Zumar [39]: 14).

Mengenai bahasan ini, Syeikh Musthafa Masyhur dalam bukunya Fiqh Dakwah Jilid I mengutip pendapat seorang inspirator dari negeri piramida, Mesir, yakni Hasan Al-Banna.

Menurut Hasan Al-Banna, ikhlas itu adalah menunjukkan semua ucapan, amal dan jihadnya hanya kepada Allah semata. Karena mencari ridha dan kebaikan pahala-Nya, tanpa mengharapkan keuntungan popularitas, kehormatan, reputasi, kemajuan dan keterbelakangan. Dengan keikhlasan ini seseorang akan menjadi pengawal fikrah dan aqidah. Bukan pengawal kepentingan dan keberuntungan.

Dengan demikian, maka sudah sepatutnya seorang Muslim senantiasa menimbang-nimbang aktivitas yang dilakukannya selama ini, apakah sudah murni karena Allah atau ada pretensi, interes, atau kepentingan semu lainnya?

Sebab jika tidak, maka amat disayangkan, amal baik yang dilakukan menjadi tidak bernilai apa-apa di hadapan Allah Ta’ala. Sebagaimana yang tergambar dalam satu hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alayhi Wasallam.

“Dan dari Abu Musa Abdullah bin Qays al-‘Asy’ari radhiyallahu anhu berkata, ‘Rasulullah pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena ingin dikatakan berani, fanatisme golongan dan riya’. Manakah yang bernilai sabilillah? Rasulullah menjawab, ‘Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah bisa ditegakkan maka sesungguhnya ia telah berperang di jalan Allah.” (HR. Bukhari Muslim).

Dan, demikianlah sesungguhnya inti dari hidup ini, yakni ikhlas karena mengharap ridha-Nya, bukan yang lain. Sebagaimana ditegaskan Allah di dalam Al-Qur’an;

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ


“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS:  Al-Bayyinah [98]: 5).


*Tegas, Komitmen & Lemah Lembut*

Apabila seorang Muslim memahami ikhlas dengan baik dan mengamalkannya sepenuh hati, maka ia akan tampil sebagai sosok yang tegas, komitmen dan lemah lembut. Hal inilah yang terjadi pada sosok Abu Bakar radhiyallahu anhu.

Siapa tidak mengenal watak asli Abu Bakar, beliau adalah sosok sahabat yang pemalu, mudah menangis kala mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dan sangat lemah lembut. Tetapi, kala ajaran Allah hendak dipisahkan, yakni antara zakat dan sholat, ia berubah 180 derajat menjadi pribadi Muslim yang sangat tegas. Bahkan, Sayyidina Umar yang terkenal sangat tegas pun seketika tidak bisa memilih apapun selain tunduk pada kebijakan khalifah pertama umat Islam itu.

Komitmen Abu Bakar terhadap kebenaran tidak tergoyahkan oleh apa pun juga. Entah itu senioritas, keilmuan atau pun prestise lainnya yang masih diyakini sebagian bangsa Arab. Jika ditanya, mengapa Abu Bakar demikian, tidak lain karena keikhlasannya dalam menjalankan perintah Allah.

Ikhlas seperti itulah yang diperlukan oleh setiap Muslim di negeri ini, khususnya para pemimpin dan pemangku kebijakan. Jika hal itu mampu diwujudkan, maka secara bertahap, segala permasalahan keumatan, kerakyatan, kebangsaan dan kenegaraan akan bisa diatasi dengan sebaik-baiknya.

Oleh karena itu, mari senantiasa perbaiki diri, terutama keikhlasan diri kita dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Sebab, ikhlas inilah sebaik-baik jalan bagi setiap Muslim untuk benar-benar bisa mencapai kebahagiaan yang hakiki. Semoga Allah memberikan kekuatan diri kita untuk terus ikhlas dalam amal sholeh, dakwah dan jihad fii sabilillah.*


*Sumber*
Hidayatullah.com

Sabtu, 24 Agustus 2019

Merasakan Manisnya Iman itu dengan Amal

Image Source : Pixabay

*IMAN* bukanlah sesuatu yang dapat dirasakan kehadirannya, peningkatannya, hanya dengan memahami ilmu agama secara teoritis semata. Tanpa amal tanpa pengorbanan.

Iman di dalam Islam sebagaimana juga dibuktikan dalam sejarah adalah perkara yang manisnya bisa dirasakan ketika jiwa raga seseorang menceburkan dirinya di dalam segala bentuk aktivitas ataupun pekerjaan yang menyangkut hajat hidup umat Islam dan demi tegaknya peradaban Islam.

Mengapa dahulu para sahabat Nabi sangat antusias dalam jihad? Karena dalam jihad ada manisnya iman yang tak bisa dirasakan melainkan dengan mencicipi dan lebih jauh menikmatinya. Sebagian ulama larut dengan aktivitas mengajarkan ilmu dan bersedekah setiap hari. Mengapa mereka terus melakukannya? Karena manisnya iman nyata mereka rasakan.

Oleh karena itu penting dipahami, bahwa untuk meningkatkan iman dan taqwa adalah dengan langsung menjalankan segala macam bentuk amalan bahkan perjuangan dan pengorbanan bagi tegaknya iman dan peradaban Islam.

Ustadz Abdullah Said di dalam bukunya Kuliah Syahadat mengatakan bahwa mencari pengalaman melalui keterlibatan langsunglah satu-satunya cara paling efektif untuk merasakan sendiri halawatul Iman (manisnya iman) atau kenikmatan beriman. Bagaimana mungkin umat bisa menikmati kalau belum pernah mengalami, akan sangat berbeda bobot keyakinan yang diperoleh lewat berita dibandingkan dengan yang dirasakan secara langsung.” (halaman: 144).

Beliau melanjutkan “Selama hal tersebut hanya berupa teori yang tak beda dengan berita, selama bentuknya sekadar informasi dan indoktrinasi semata, tidak dengan menunjukan langsung di lapangan agar mereka dapat mengalami sendiri pahit getirnya mempertahankan syahadat, suka dukanya mengembangkan syahadat, sampai-sampai kepada titik klimaksnya sebagai fase-fase penentuan uji cobanya, terlalu sulit kita harapkan kualitas (iman) yang baik itu.”

Itulah mengapa di dalam Islam banyak sekali perintah yang mesti dilakukan oleh umat Islam di mana sebagian besar di antaranya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang benar-benar meyakini ajaran Islam, sehingga mereka inilah orang yang dapat merasakan keindahan sekaligus mampu merepresentasikan keindahan ajaran Islam.

Lebih jauh bisa kita lihat dalam kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam dari berbagai sisi.
Dari sisi ibadah beliau mampu menghidupkan malam-malam dengan sholat, dari sisi kepedulian beliau menjadi orang yang sangat gelisah apabila di dalam rumah masih ada harta yang belum disedekahkan. Dari sisi kepemimpinan beliau adalah orang yang paling mengkhawatirkan nasib umatnya sampai-sampai menjelang wafatnya beliau masih mengatakan, “ummati, ummati, ummati.”

Di sisi lain kita juga dapat menemukan heroisme para sahabat dalam mencari keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala, mereka yang memiliki harta dengan mengorbankan untuk agama, mereka yang memiliki tekad belajar rela melakukan apapun demi mendapatkan ilmu dari sisi Rasulullah, dan mereka yang memiliki keterampilan memimpin pasukan, senantiasa menghabiskan umur dan tenaganya untuk memenangkan agama Allah.

Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa jika benar-benar ingin merasakan manisnya Iman di dalam hati, maka tidak ada cara lain kecuali menguatkan niat, memantapkan tekad untuk terjun langsung melakukan hal-hal yang strategis lagi dibutuhkan untuk kemaslahatan umat Islam.

Tanpa itu maka boleh jadi kita hanya akan menjadi seorang Muslim yang belum pernah benar-benar merasakan manisnya iman dan pada saat yang sama kita hanya menjadi pribadi yang merasa puas dan cukup menjadi Muslim yang hanya menjalankan ibadah-ibadah ritual, namun abai dalam menjalankan fungsi diri sebagai pemimpin, khalifah Allah di muka bumi ini.

Seperti ditegaskan oleh Iqbal dalam bukunya “Rekonstruksi Pemikiran Religius di dalam Islam” bahwa Al-Quran adalah sebuah kitab yang menekankan ‘perbuatan’ daripada ‘pemikiran,’ ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang keindahannya hanya bisa ditampilkan manakah umatnya benar-benar siap untuk menjadi garda yang terdepan dalam mengamalkan ajaran Islam.*


*Sumber* Hidayatullah.com

Nabi Yahya, Pemuda yang Dirindu Sejarah

"wa salaamun ‘alayhi yawma wulida wa yawma yamuut wa yawma yub’atsuun," Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahi...