Senin, 31 Desember 2018

INILAH ISTIGHFAR TERBAIK

Dzikir Sayyidul Istighfar disebutkan dalam hadis dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Sayidul Istighfâr (pemimpin istighfar) adalah seseorang hamba mengucapkan,

اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ

ALLAHUMMA ANTA RABBII LÂ ILÂHA ILLÂ ANTA KHALAQTANII WA ANA ‘ABDUKA WA ANA ‘ALA ‘AHDIKA WA WA’DIKA MASTATHA’TU A’ÛDZU BIKA MIN SYARRI MÂ SHANA’TU ABÛ`U LAKA BINI’MATIKA ‘ALAYYA WA ABÛ`U BIDZANBII FAGHFIRLÎ FA INNAHU LÂ YAGHFIRU ADZ DZUNÛBA ILLÂ ANTA

(Ya Allâh, Engkau adalah Rabbku, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. Engkau yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian untuk taat kepada-Mu dan janji balasan-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, menyebutkan keutamaan sayyidul istighfar,

مَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوْقِنًا بِهَا ، فَمَـاتَ مِنْ يوْمِهِ قَبْل أَنْ يُمْسِيَ ، فَهُو مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوْقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Barangsiapa mengucapkannya di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk penghuni surga. Barangsiapa membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk penghuni surga. (Muttafaq alaih).

Mengapa Disebut Sayyidul Istighfar (istighfar terbaik)?

Dzikir ini disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sayyidul istighfar, yang artinya pemimpinnya istighfar. Dan yang namanya pemimpin, berarti dia lebih unggul dibandingkan yang lainnya.

Imam al-Bukhari menyebutkan lafal istighfar ini dalam judul bab di kitab shahihnya,

باب أَفْضَلِ الاِسْتِغْفَارِ

“Bab, Istighfar yang paling utama.”

Menunjukkan bahwa Imam Bukhari menilai ini adalah lafazh Istighfar terbaik.

Jika kita perhatikan makna dari istighfar ini, ada banyak ungkapan yang menunjukkan kerendahan diri kita di hadapan Allah dan pengagungan kepada Allah semata. Kita merendahkan diri kita sebagai hamba, dengan memuji Allah yang Maha Sempurna sifat-Nya.

Kita akan melihat lebih dekat,

[1] Allahumma anta rabbii, laa ilaaha illaa anta, khalaqtanii

[اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ]

– Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Engkaulah yang telah menciptakanku, dan aku hamba-Mu…

Demikianlah kalimat pembuka dzikir ini… dibuka dengan pengakuan bahwa kita adalah hamba, dan Allah yang menciptakan kita, artinya Dialah yang memiliki kita dan mengatur kita. Hamba yang lemah sedang menghadap kepada Pemiliknya, satu-satunya yang bisa mengampuni dosanya. (Hasyiyah as-Sindi ‘ala Sunan an-Nasa’I, 8/280).

[2] Wa ana ‘ala ahdika wa wa’dika mas-tatha’tu

[وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ]

“Aku menetapi perjanjian untuk taat kepada-Mu dan janji balasan-Mu sesuai dengan kemampuanku”

Hamba yang lemah ini menyatakan bahwa dirinya tetap setiap dengan janjinya kepada rabnya, janji untuk selalu tunduk dan taat kepada-Nya, menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, semaksimal kemampuan hamba. Disertai keyakinan akan janji yang Allah berikan kepadanya, bahwa siapa yang taat akan mendapatkan surga. Sehingga dia beribadah dengan semangat husnudzan kepada Allah, bahwa Dia akan memberikan balasan atas ketaatan hamba-Nya.

[3] A-‘udzu bika min syarri maa shana’tu

[أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ]

“Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku.”

Hamba mengakui setiap maksiat dan kedurhakaan murni karena kejahatan kita, artinya tidak kita nisbahkan kepada yang lain, apalagi kepada Allah. Dan hamba menyadari setiap maksiat itu akan mendatangkan keburukan baginya dunia dan akhirat, sehingga hamba hanya bisa berlindung kepada Allah dari potensi keburukan itu.

[4] Abuu-u laka bi ni’matika ‘alayya

[أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ]

“aku mengakui nikmat-Mu kepadaku”

Pengakuan hamba bahwa semua kelebihan yang dia miliki, murni dari Allah, bukan dari hasil jasanya, bukan pula dari kemampuannya, tapi murni dari Allah, sehingga hamba tidak ujub dengan nikmat itu.. namun meskipun demikian, hamba tidak pandai bersyukur, sehingga masih sering menggunakan semua nikmat itu untuk durhaka kepada-Mu..

[5] Wa abuu-u bi dzambii

[وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ]

“aku mengakui semua dosa-dosaku”

Hamba mengakui banyak dosanya yang dia lakukan dengan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Hamba terjerumus ke dalamnya, meskipun bisa jadi hamba tidak menyukainya, akan tetapi hamba tidak mampu untuk melepaskan diri dari dosa tersebut.

[6] Faghfir-lii fa innahuu laa yaghfirud dzunuuba illaa anta

[فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ]

“Karena itu, ampunilah aku, sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau”

Ampunilah semua dosa hamba, sebanyak apapun dosa itu.. meskipun Allah tidak membutuhkan hamba-Nya.

Karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Allah… sehingga kepada siapa lagi harus harus minta ampunan untuk dosa hamba, jika Allah tidak berkenan mengampuni hamba…

Subhanallah… banyak sekali pengakuan hamba akan kelemahan dirinya dan peng-agungan hamba kepada Rabnya.

Demikian, Allahu a’lam.


Sumber
Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Rabu, 05 Desember 2018

Matilah dengan Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهَ

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim


AKU termangu di tengah terik yang menyengat, seterik persaudaraan kita yang sedang dicabik-cabik. Hatiku menggigil mengingat Al-Qur’an surat Ali Imran yang setiap Jum’at dibacakan ayatnya. Sungguh, tidaklah perintah itu akan tertunaikan dengan sempurna, kecuali dengan mengingat ayat yang mengikutinya.

Mari sejenak kita sirami hati kita yang mendidih dengan ayat Allah ‘Azza wa Jalla:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali mati melainkan kamu dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran, 3: 102).

Apa pesan Allah Ta’ala di sini? Di ujungnya adalah pesan yang sangat kuat: “janganlah sekali-kali mati melainkan kamu dalam keadaan beragama Islam”; menjadi muslim yang sungguh-sungguh muslim, menjadi orang beriman yang benar-benar mengimani Allah dan rasul-Nya beserta segala yang diperintahkan-Nya untuk kita imani.

Bukalah hati nuranimu, tengoklah bahwa yang harus engkau perjuangkan bukan hanya bagaimana caranya agar dirimu secara pribadi yang mati dalam keadaan Islam, tetapi semua yang hari ini masih memiliki iman walau hanya setipis hembusan angin di pagi hari termasuk dalam cakupan إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ (kecuali kamu sekalian dalam keadaan sebagai muslim).

Masih adakah airmata yang tersisa? Gunakanlah ia untuk menangisi ummat ini, yang di negeri kita semakin hari semakin tergerus prosentasenya. Ini menandakan semakin banyaknya orang-orang yang berkemungkinan mati dalam keadaan keluar dari Islam. Padahal bukankah kita semua dituntut untuk menjaga diri kita beserta keluarga kita dari siksa api Neraka?

Masih adakah airmata yang menggenang di pelupuk mata? Gunakanlah ia untuk menangisi pertikaian demi pertikaian. Padahal tidaklah mungkin kita menjaga ummat ini agar bergerak menjadi kekuatan yang jiwanya adalah لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهَ dan ujungnya adalah لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهَ, kecuali dengan mengikuti perintah Allah Ta’ala yang mengikuti perintah-Nya agar tidak mati, kecuali dalam keadaan sebagai muslim.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpegang-teguhlah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran, 3: 103).


Sumber
Dikutip dari FB: Mohammad Fauzil Adhim

Nabi Yahya, Pemuda yang Dirindu Sejarah

"wa salaamun ‘alayhi yawma wulida wa yawma yamuut wa yawma yub’atsuun," Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahi...