Selasa, 17 April 2018

Jadilah Uswah, Bukan ‘Ibroh!

Image Source : Pixabay

Majapahit dikenal memiliki kekuasaan luas. Menurut Kitab Negarakretagama, kekuasaannya, sampai ke Sumatera dan Malaysia. Namun kini, kedigdayaannya tinggal cerita dan tinggal bekasnya.

DALAM salah satu ceramahnya, Syaikh Salman Al-‘Audah memberi kita nasehat:
“Di antara cara Allah menyadarkan suatu bangsa dan menjauhkan mereka dari hukuman-Nya adalah dengan membinasakan tetangga-tetangga mereka (yakni, yang zalim) agar mereka mengambil ‘ibrah darinya, sebagaimana firman Allah:

وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِنَ الْقُرَىٰ وَصَرَّفْنَا الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (الأحقاف: ٢٧)
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitarmu dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertaubat).” (Qs al-Ahqaf: 27)

Perhatikanlah umat-umat, negara-negara, dan bangsa-bangsa yang telah dihancurkan Allah. Periksalah penyebab kehancuran mereka dan jauhilah. Orang bahagia adalah orang yang bisa memetik nasihat dari pengalaman orang lain. Oleh karenanya sebagian orang shalih pernah berdoa:

اللّٰهُمَّ لَا تَجْعَلْنَا عِبْرَةً لِغَيْرِنَا
“Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan kami sebagai ‘ibroh (pelajaran) bagi orang selain kami.”

Sebab, sebagaimana Allah membinasakan umat-umat lain agar kita bisa memetik ‘ibroh darinya, maka tidak tertutup kemungkinan bila Allah membinasakan kita agar orang lain bisa mengambil ‘ibroh dari nasib kita itu. Sungguh tidak ada penyambung di antara Allah dan makhluk-Nya kecuali takwa.

Inilah salah satu persoalan yang dengannya Allah masih menjauhkan kita dari kehancuran itu, sampai saat ini. Sebab kita tahu bahwa beberapa waktu belakangan ini negeri kita masih terpelihara dari malapetaka berskala luas dan nestapa yang menyentuh segenap penjurunya; sementara pada saat bersamaan bangsa-bangsa lain di sekeliling kita telah “disambar” (oleh bencana). Setiap hari kita pun mendengar berita-berita pilu.” (Dipetik dari: Duruus li asy-Syaikh Salman al-‘Audah, transkrip ceramah ke-193 berjudul: Mashiirul Mutrofiin {akhir kesudahan orang-orang yang berlebihan})

***

Renungkanlah! Kita adalah generasi ke sekian Bani Adam. Kita juga bukan umat dan komunitas pertama yang hidup di Nusantara ini. Negara kita juga bukan satu-satunya yang pernah eksis di kawasan ini. Dulu ada Sriwijaya yang kebesarannya terdengar sampai ke China. Pernah ada pula Majapahit yang menjadi ‘super power’ di zamannya. Setelah itu ada lagi kerajaan-kerajaan hebat: Aceh, Malaka, Demak, Mataram, Makassar, Ternate, Tidore, dan banyak lagi lainnya.
Kemana mereka semua?

Kita hanya mengenal sisa-sisanya di museum dan buku-buku sejarah. Kemegahan mereka mungkin membuat kita bangga, tapi tidak ada lagi peluang untuk menghidupkannya seperti sediakala.

***

Tariklah kisah ini ke ruang lebih khusus. Tidak sedikit ormas, partai, pesantren, sekolah, universitas, toko, pabrik, perusahaan, dan lain-lain yang pernah digdaya di zamannya. Namun, kini nyaris tidak ada lagi yang mengingat kiprahnya dan mendengar namanya. Semua terbenam dan lenyap. Sisa-sisa kebesaran yang mereka miliki kemudian menjadi pelajaran bagi orang-orang di belakangnya.

Mereka punah secara tragis. Seperti kapal Titanic yang — konon pemiliknya sesumbar secara jumawa — bahwa “Tuhan pun tidak akan bisa menenggelamkannya”. Tapi, semua orang tahu bagaimana kapal pesiar mewah itu karam justru pada pelayaran pertamanya.

***

Kita sadar bahwa terbit dan terbenam adalah sunnah kehidupan. Tidak ada yang abadi selain Allah. Namun, jika pun kita harus lenyap suatu saat nanti, pastikan kita menjadi uswah (teladan) bagi orang lain, bukan ‘ibroh (pelajaran) bagi mereka.

Para Nabi adalah model manusia “uswah” itu. Mereka manusia yang sama seperti kita, yang tidak bisa melawan sifat fana dalam dirinya. Namun, kehadiran mereka menginspirasi, dan ketika mereka pergi keteladanannya abadi. Uswah adalah pelajaran positif dan contoh menuju kebaikan-kebaikan.

Tapi kita juga mendengar nama musuh-musuh mereka. Ada Namrud, Fir’aun, Haman, Qarun, Abu Lahab, dan masih banyak lagi. Kita juga sering membaca kisah-kisah kehancuran kaum-kaum nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Luth, dan seterusnya. Kita pun mendapat pelajaran dari pembangkangan serta kedurjanaan mereka, yang berakhir tragis. Kaum-kaum dan orang-orang itu adalah sosok ‘ibroh bagi kita. ‘Ibroh merupakan hikmah di balik kebinasaan dan malapetaka yang dialami orang lain.

***

Jadikan dirimu uswah! Jadikan keluargamu uswah! Demikian pula masjidmu, pesantrenmu, desamu, sekolahmu, tokomu, perusahaanmu, media massamu, software ciptaanmu, dan semua yang terkait denganmu. Pastikan orang lain terinspirasi dan mencontoh kebaikan-kebaikan yang kau tampilkan di sana. Dengan inilah engkau akan melipatgandakan amal sholih, sebab siapa yang memulai suatu kebajikan lalu dicontoh orang lain, maka engkau akan diberkahi dengan pahalanya selain pahala amalmu sendiri.

Namun, berupayalah agar tidak menjadi ‘ibroh bagi siapa pun. Mohonlah kepada Allah agar menjauhkanmu darinya. Sebab, jika ini terjadi, berarti engkau telah melakukan suatu kesalahan yang dengannya Allah menjatuhkan musibah dan hukuman. Orang lain akan mengambil pelajaran dari kesalahanmu dan selamat dari “lubang” yang sama. Mereka beruntung karena dosamu, sementara engkau sendiri terpuruk dalam nestapa karenanya.

Bertakwalah kepada Allah, sebelum murka-Nya turun dan menggiringmu menuju jurang ‘ibroh bagi pihak lain. Turuti perintah-Nya, jauhi larangan-Nya. Merunduklah di hadapan-Nya dengan setulus hati. Jangan coba-coba menantang-Nya.

Dengarkanlah! Ancamannya masih tertera jelas dalam Kitab Suci-Nya, tidak pernah direvisi maupun dicabut.

أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ (٩٧) أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ (٩٨) أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ (٩٩) {سورة الأعراف}

“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? (*) Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?  Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS Al-A’raf: 97-99)

Selamatkan dirimu, sebelum terlambat! Wallahu a’lam.*/Alimin Muhtar


Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
© Hidayatullah.com

Rabu, 11 April 2018

Mengukuhkan Kekuatan Kepribadian Muslim

Image Source: Pinterest
IMAN adalah sumber kekuatan. Seseorang yang beriman tidak bersandar kepada siapa pun kecuali Tuhannya. Kekuatan itu tak berasal dari mana pun selain dari-Nya. Manakala seorang manusia bertawakal kepada Allah, maka cukup Dia yang menjadi wakilnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala pun menerangkan,

Barangsiapa bertawakal kepada Allah, maka Dia akan mencukupinya.” (al-Thalaq: 3).

Allah pula penolongnya, dan dia tidak akan dikalahkan oleh seorang pun.

Jika Allah menolong kalian, maka kalian tak terkalahkan, dan tak terhina. Siapa lagi yang menolong kalian setelah Dia? Dan hanya kepada Allah orang-orang beriman bertawakal.” (Ali Imran: 160).

Seorang peneliti yang mengamati kesatuan dan kebersamaan umat Islam, niscaya akan melihat betapa kekuatan kepribadian mereka sangat kokoh, sampai segala bentuk kebatilan tak kuasa melumpuhkannya. Ada seorang pemberani yang dapat dijadikan contoh, yaitu Rub’i bin ‘Amir, utusan Sa’ad bin Abi Waqash dalam perang Qadisiah. Dengan kekuatan imannya, ia begitu berani menemui panglima perang Persia, Rustam, yang disegani banyak orang. Namun Rub’i tak takut sedikit pun, sampai ia ditanyai Rustam, “Siapa kamu? Dan siapa kalian?”

Jawabnya, “Kami adalah suatu kelompok yang diutus Allah untuk menghentikan siapa pun yang menyembah manusia agar ia menyembah Allah semata; mengubah kehidupan dunia yang sempit menjadi lapang leluasa serta mengganti agama-agama yang penuh aniaya dengan agama Islam yang berkeadilan.”

Kekuatan iman akan mempunyai makna sempurna manakala seorang Muslim telah mampu mencintai Allah serta Rasul-Nya; kemudian kecintaan tersebut meluas kepada selain keduanya. Berdasarkan iman, ia mempunyai hubungan kemanusiaan yang baik, sesuai dengan cara-cara yang diajarkan agamanya. Dengan demikian, maka ia telah mencapai tingkatan iman yang kuat. Ia telah bisa merasakan manisnya iman yang menyinari jalan kehidupannya.

Segala sesuatu di dunia ini tidak bisa dibandingkan dengan iman. Iman lebih tinggi, dan apa pun selainnya lebih rendah. Sebuah hadist Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam yang diriwayatkan Anas menjelaskan,

“Ada tiga perkara di mana barangsiapa memiliki ketiganya maka ia akan dapat merasakan manisnya iman. Yaitu hendaklah ia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada selain keduanya; hendaklah ia mencintai seseorang, tidak lain hanya semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana ia tak suka dilemparkan ke neraka.” (Muslim)

Sebagai contoh, kekuatan iman itu mempunyai pengaruh begitu besar terhadap orang-orang salaf, karena mereka senantiasa menjaga hubungan dengan Allah serta berpegang teguh kepada akidah. Bilal, misalnya, adalah orang yang pernah merasakan kepedihan berbagai siksaan karena tak mau meninggalkan akidah dan imannya.

Pribadinya teguh, imannya kuat, sehingga ia tetap bertahan dalam akidahnya, kendati siksaan amat mengerikan dirasakan sekujur tubuhnya. Semakin besar rasa sakit dan pedih menimpa tubuhnya, iman dan ketetapan hatinya bertambah kuat. Ia tetap tak mau menyerah kepada orang-orang yang menyekutukan-Nya. Mulutnya tetap mengatakan, dari hatinya terdalam, “Ahad….! Ahad!

Selain mengutamakan kebersihan kepribadian, kesucian ruh, serta iman yang kuat, Islam pun mengutamakan kekuatan fisik. Kemudian, Islam mengajarkan kebersihan, kesucian, baik pada pakaian, tubuh serta tempat btinggal. Allah menyatakan,

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat, dan mereka yang suci.” (al-Baqarah: 222).

Kemudian, rezeki yang didapatkan dengan cara yang sah, dihalalkan-Nya, agar digunakan sebaik mungkin untuk kemaslahatan manusia, sehingga fisik mereka menjadi kuat. Allah menjelaskan,

Wahai orang-orang yang beriman, makanlah oleh kalian makanan-makanan yang baik dari yang telah Kami rezekikan kepada kalian.” (al-Baqarah: 172).

Selain itu, Islam pun menganjurkan olahraga, serta belajar memanah. Dalam sebuah hadist disebutkan, “Barangsiapa meninggalkan memanah setelah mengetahuinya karena tak suka, maka hal itu adalah nikmat yang ditinggalkannya.” Atau beliau bersabda, “yang dikufurinya.” (Abu Dawud)

Salmah bin al-Akwa’ menyatakan: Nabi pernah melewati suatu kelompok orang yang pandai memanah. Maka beliau mengatakan,

“Panahlah hai Bani Isma’il, karena sesungguhnya leluhur kalian adalah pemanah ulung. Panahlah, dan aku bersama Bani Fulan.” Kemudian salah satu dari kedua kelompok menahan tangan mereka. Rasulullah mengatakan kepada mereka, ‘Kenapa kalian tidak memanah?’ Mereka menyahut, ‘Bagaimana mungkin kami memanah sementara engkau bersama mereka?’ Sahut Nabi kemudian, ‘Panahlah! Aku bersama kalian semua!” (Bukhari)

Beliau bersabda berkait dengan firman Allah, “Dan hadapilah mereka dengan segenap kemampuan dan kekuatan kalian.” (Al-Anfal: 60).

“Sesungguhnya kekuatan itu dengan memanah.” (Ahmad)

Dalam bentuk serta jenis apa pun, kekuatan pribadi itu harus bersumber dari akidah yang benar, keberadaannya untuk mencari keridhaan Allah. Itulah kekuatan dalam agama, bersumber dari dasar-dasar cahaya ilmu, nurani serta petunjuk. Bertolak dari situ, Al-Qur’an mengisyaratkan adanya kekuatan tersebut pada para nabi, yaitu,

Dan ingatlah hamba Kami, Daud, yang mempunyai kekuatan dan banyak bertobat.” (Shad: 17)

Firman Allah, al-ayyad, maksudnya adalah ‘mempunyai kekuatan’. Dalam firman lain, Allah menyatakan,

Dan ingatlah hamba Kami, Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub, yang lebih dulu mempunyai kekuatan serta pengetahuan agama.” (Shad: 45)

Kekuatan di sini maknanya adalah kekuatan untuk taat serta peka dalam beragama. Betapa banyak kezaliman manusia pada pribadi yang islami, manakala mereka hanya menonjolkan ciri kekuatan semata. Di antara mereka ada yang membatasi kekuatan pribadi itu, sehingga ada yang berlaku keras terhadap saudara-saudara sendiri dan orang-orang yang lemah, daripada terhadap musuh.

Karena itulah, Al-Qur’an mengetengahkan konsep ‘kekuatan dan kasih sayang.’ Yaitu, “Muhammad adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersamanya berlaku keras terhadap orang-orang kafir, namun penuh kasih sayang terhadap sesama mereka.” (al-Fath: 29).

Seorang Abu Bakar ash-Shidiq, semoga Allah meridhainya, sejak awal kekhilafahan, telah menyadari dasar-dasar kepribadian tersebut, sampai dia ucapkan, “Kekuatan pada kalian adalah kelemahan bagiku, sampai kebenaran terambil darinya. Dan kelemahan pada kalian adalah kekuatan bagiku, sampai kebenaran hilang darinya.”*/DR. Ahmad Umar Hasyim, dari bukunya Menjadi Muslim Kaffah

Sumber: hidayatullah(dot)com

Sabtu, 07 April 2018

Pentingnya Mengenal Allah SWT dan Keutamaannya

Image Source : Google
Bagi seorang muslim, apalagi yang telah mengenal Allah SWT, Tuhan seru sekalian, alam, pasti akan tahu bagaimana menentukan tujuan hidupnya dan tidak akan tertipu oleh urusan dunia. Hal ini sudah dijelaskan dalam firman Allah SWT, dalam Quran Surah Az-Zariyat ayat 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Mengenal Allah SWT, dalam bahasa Arab dikenal dengan Ma’rifatullah. Ma’rifatullah dianggap merupakan ilmu agama Islam yang tertinggi yang harus dipatuhi oleh seluruh umat muslim dan umat manusia ciptaan Allah SWT. Allah SWT di dalam surah Al- An’am ayat 122:

أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.

Berdasarkan kedua ayat di atas, berilmu dan mengetahui pentingnya mengenal Allah SWT. Mengapa? Ada dua hal yang bisa dijadikan alasan mengapa penting mengenal Allah SWT terutama bagi umat muslim, antara lain:

Dengan mengenal Allah SWT, kita dapat berhubungan langsung dengan Dzat yang paling maha kuasa, yaitu Sang Pencipta.

Dengan mengenal Allah SWT, kita akan mendapat berbagai nikmat, seperti dapat meningkatkan keimanan, serta meningkatkan ketaqwaan. Alhasil, dengan ketaqwaan tersebut kita memperoleh keberuntungan dan kemenangan.

Lalu, setelah mengetahui beberapa keutamaan mengenal Allah SWT tersebut, bagaimana jalan kita sebagai umat muslim untuk mengenal Allah SWT? Simak selengkapnya dibawah sini.


Jalan Mengenal Allah SWT
Untuk mengenal Allah SWT dan seluruh kekuasaannya, terdapat dua jalan yang bisa kita lalui, antara lain:

A. Mengenal Allah SWT melalui Alam
Dengan kita sering dekat dengan alam, atau memperhatikan cara kerja semesta beserta seisinya, seperti bulan dan bintang, air dan api, tumbuhan dan hewan, langit dan bumi, kita bisa menyadari betapa kuasanya Allah dalam memperintahkan ciptaanNya.

Seperti pergantian matahari menjadi bulan, siang menjadi malam, dan lain sebagainya. Sudah tertulis dalam ayat Al – Quran mengenai kuasaNya Allah SWT, antara lain:

a. Fenomena terjadinya Alam
Untuk fenomena terjadinya Alam, Allah SWT telah jelas menurunkan firmannya di dalam surah At-Tur ayat 35:

أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?

b. Fenomena KehendakNya yang tinggi
Untuk membuktikan kuasa-Nya Allah SWT terhadap apa yang terjadi di seluruh dunia ini, kita bisa membaca Quran surah Al-Mulk ayat 3:

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا ۖ مَا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِنْ تَفَاوُتٍ ۖ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِنْ فُطُورٍ
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

c. Fenomena kehidupan
Untuk fenomena kehidupan, Allah SWT banyak sekali menuliskan firman-Nya di Al-Quran. Beberapa firman-Nya tertulis di dalam surat Al-Baqarah ayat 216 dan 286, At-Thaha ayat 124, Ath-Thalaq ayat 2-3, Ar-Rad ayat 11, dan Al-Insyirah ayat 5-6. Berikut isi dari surah Quran tersebut:

• Al-Baqarah ayat 216
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

• Al-Baqarah ayat 286
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.

• At-Thaha Ayat 124
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.

d. Fenomena Petunjuk
Allah SWT adalah Dzat yang maha baik. Banyak dari firman-Nya yang mengajak kita untuk selalu menjalankan perintahNya, Mengikuti arahan-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.

Salah satu petunjuk yang Allah SWT berikan kepada umatNya adalah terdapat di Quran surah At-Thaha ayat 50:

قَالَ    رَبُّنَا    الَّذِىٓ    أَعْطَىٰ    كُلَّ    شَىْءٍ    خَلْقَهُۥ    ثُمَّ    هَدَىٰ    ﴿طه:٥۰﴾
Dia (Musa) menjawab, “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.”

e. Fenomena Pengabulan Doa
Allah SWT sangat menyukai hamba-Nya yang berdoa dan meminta kepada-Nya. Hal ini sama seperti yang tertulis dalam Al-Quran surah Al-Anam ayat 63:

قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan: “Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur”.

B. Mengenal Allah SWT melalui KitabNya
Turunnya Al-Quran adalah bukti kasih sayang Allah SWT terhadap hamba-hambaNya. Allah SWT menurunkan Al-Quran sebagai pedoman bagi seluruh umat-Nya agar di hari akhir nanti semua umat-Nya mampu mengisi syurga-Nya yang maha luas. Syurga adalah balasan Allah SWT bagi umat-umat-Nya yang patuh kepada ajaran Islam yang tertulis dalam Al-Quran.

Berikut ini adalah beberapa ayat-ayat Al-Quran yang membicarakan bagaimana istimewanya Al-Quran untuk umat muslim.

a. Keindahan Al-Quran
Al-Quran seperti yang kita tahu diturunkan secara perlahan-lahan melalui Rasulullah saw. Oleh karena itulah mengapa Al-Quran dikatakan indah. Hal ini tertulis jelas di dalam Quran surah Al-Baqarah ayat 23:

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

b. Pemberitahuan kepada dan dari Umat-umatNya di masa lalu
Al-Quran adalah bagaimana bukti nyata dari sejarah Islam dari sebelum masa Rasulullah SAW, seperti pada zaman Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, hingga penduduk madyan dimana Allah SWT telah mengirimkan bukti-bukti nyata bahkan pada saat zaman Rasulullah SAW membawa Islam ke dunia. Dimana mereka semua musnah akibat mendzalimi  diri sendiri. Tertulis di dalam Quran surah At-Taubah Ayat 70:

أَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَقَوْمِ إِبْرَاهِيمَ وَأَصْحَابِ مَدْيَنَ وَالْمُؤْتَفِكَاتِ ۚ أَتَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ ۖ فَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.

C. Mengenal Allah SWT melalui Asmaul Husna
Asmaul Husna adalah nama-nama Allah SWT yang tidak mungkin Dzat lain bisa memiliki Asma (Husna) sesempurna yang dimiliki oleh Allah SWT. Hal ini juga sudah dijelaskan dalam berbagai firman-Nya. Antara lain terdapat di dalam Quran surah Ghafir ayat 62, Fatir ayat 3, Hud ayat 6 dan surah Al-Baqarah ayat 284. Berikut penjelasannya:

a. Allah SWT sebagai Al-Khalik (QS. 40:62)

ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَأَنَّىٰ تُؤْفَكُونَ
Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Pencipta segala sesuatu, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka bagaimanakah kamu dapat dipalingkan?

b. Allah SWT sebagai pemberi rezeki
(QS. 35:3 dan QS. 11:6)

Quran Surah Faatir Ayat 3:
لَّذِي أَحَلَّنَا دَارَ الْمُقَامَةِ مِنْ فَضْلِهِ لا يَمَسُّنَا فِيهَا نَصَبٌ وَلا يَمَسُّنَا فِيهَا لُغُوبٌ
“Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga), dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah, dan tiada pula merasa lesu’.” – (QS.35:35)

Quran Surah Hud Ayat 6:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).

c. Allah SWT sebagai pemilik (QS 2:284)

لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ ۖ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Kemudian, setelah mengetahui semua keutamaan dari pentingnya mengenal Allah SWT, apa saja halangan atau hambatan yang terkadang membuat kita sulit untuk mengenal Allah SWT tanpa kita sadari? Hal ini juga sudah tertulis di dalam beberapa surah di Al-Quran. Apa saja? Simak penjelasannya di bawah ini.


Hal-Hal yang Menghalangi Kita Mengenal Allah SWT

a. Kesombongan
Allah SWT memberitahu kita sebagai umat tidak boleh sombong saat berada di dunia milik-Nya. Allah SWT sudah menulis di dalam Al-Quran, mengenai kesombongan.

Sifat sombong dalam Islam diantaranya tertulis di Quran Surah  Al-A’raf ayat 146 dan Al-Furqan ayat 21.

Al-A’raf ayat 146
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.

Al-Furqan ayat 21
وَقَالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا لَوْلَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا الْمَلَائِكَةُ أَوْ نَرَىٰ رَبَّنَا ۗ لَقَدِ اسْتَكْبَرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ وَعَتَوْا عُتُوًّا كَبِيرًا
Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami: “Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?” Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas(dalam melakukan) kezaliman”.

b. Zalim
Allah SWT tidak suka orang-orang yang zalim. Baik mendzalimi orang lain maupun diri sendiri. Tertulis di dalam Surah Quran An-Nisa ayat 133 yang berbunyi:

إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ وَيَأْتِ بِآخَرِينَ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ قَدِيرًا
Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai penggantimu). Dan adalah Allah Maha Kuasa berbuat demikian.

c. Bersandar pada panca indera
Allah SWT telah memperintahkan kita untuk hanya bersandar pada Allah SWT. Tertulis dalam Quran surah Al-Baqarah ayat 55:

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَىٰ لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya”.

d. Dusta atau berbohong
Tertulis pada Quran surah  Al’Araf ayat 176 yang berbunyi

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ ۚ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.

e. Membatalkan janji pada Allah SWT
Allah SWT suka dengan hambaNya yang menepati janji.  Dan Allah SWT juga memiliki firman dalam Al-Quran bagi hambaNya yang mengingkari janji kepadaNya. Hal ini tertulis dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 2:

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,

f. Berbuat Kerusakan
Manusia sejatinya suka merusak, baik merusak alam ataupun diri sendiri. Dan Allah tidak suka dengan perbuatan tersebut. Perbuatan merusak juga disebut fasad. Hal ini bisa terlihat di Quran surah Ar-Rum ayat 42, Surah As-Sad ayat 27, dan Al-A’raf ayat 56-58:

Quran Surah Ar-Rum ayat 42
قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلُ ۗ كَانَ اَكْثَرُهُمْ مُّشْرِكِيْنَ
“Katakanlah (Muhammad), Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang menyekutukan (Allah).” (QS. Ar-Rum 30: Ayat 42)

Quran Surah As-Sad Ayat 27
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ۚ ذَٰلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ
Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.

Quran Al-A’raf ayat 56-58
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (56)

وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ ۚ كَذَٰلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتَىٰ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. (57)

وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ ۖ وَالَّذِي خَبُثَ لَا يَخْرُجُ إِلَّا نَكِدًا ۚ كَذَٰلِكَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ
Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur. (58)

g. Lalai
Sebagaimana yang tertulis di dalam firman Allah SWT di Quran Surah  Al-Anbiya ayat 1-3, yang berbunyi:

اقْتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمْ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ مُعْرِضُونَ
Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya) (1)

مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلَّا اسْتَمَعُوهُ وَهُمْ يَلْعَبُونَ
Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (2)

لَاهِيَةً قُلُوبُهُمْ ۗ وَأَسَرُّوا النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا هَلْ هَٰذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ ۖ أَفَتَأْتُونَ السِّحْرَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ
(lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: “Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?” (3)

h. Banyak Berbuat Maksiat
Banyak dari kita yang berbuat maksiat, baik berupa lisan, tindakan, dan perbuatan. Hal ini sudah tertulis di Quran surah An-Nissa ayat 108, An-Naazi’aat ayat 40-41, Al-Mulk ayat 12, dan Surah Yusuf ayat 53.
An-Nissa Ayat 108

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَىٰ مِنَ الْقَوْلِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا
mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak redlai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.

An-Naazi’aat ayat 40-41
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, (40)

فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (41)

Al-Mulk ayat 12
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.

Yusuf ayat 53
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

i. Ragu-ragu
Keraguan adalah sifat manusia yang kadang timbul dan membuat manusia tidak yakin akan kebesaran Allah SWT. Hal ini tertulis di dalam Quran Surah Al-Anam ayat 109-110, yang berbunyi:

وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ جَاءَتْهُمْ آيَةٌ لَيُؤْمِنُنَّ بِهَا ۚ قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لَا يُؤْمِنُونَ
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mu jizat, pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah: “Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu hanya berada di sisi Allah”. Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak akan beriman. (109)

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat (110)


Sumber : Dibalikislam.com

ALLOH AL-KHOLIQ

Image Source : Pixabay
Kita telah mengetahui bahwa sesungguhnya satu-satunya jalan menggapai mardhotillah (kebahagiaan/keselamatan di dunia dan akhirat) hanyalah dengan cara mengabdikan seluruh hidup dan kehidupan kita kepada Alloh, dalam artian melaksanakan setiap perintah Alloh dan menjauhi setiap larangan-Nya. Timbul satu pertanyaan yang sangat mendasar, mengapa kita bersedia/rela diperintah dan dilarang oleh Alloh? Jawabannya adalah –pertanyaan- Apa hubungan kita dengan Alloh? Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada dua hal yang harus kita ketahui terlebih dahulu, yaitu Kedudukan Alloh dan kedudukan kita dihadapan-Nya.


ALLOH AL-KHOLIQ

Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah Pencipta (Al-Kholiq) seluruh alam semesta. Dia-lah Yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya sendiri tanpa bantuan siapa atau apapun. Kita bisa bayangkan, bila kita melihat ke atas (baik dengan mata telanjang atau pun dengan teleskop di planetarium), sejauh mata memandang, itu belum langit ke satu. Konon, penjelajahan yang dilakukan manusia (team NASA) baru sampai Planet Mars (Planet terdekat kedua dengan Bumi) yang diperkirakan jaraknya 600.000 km dari permukaan bumi yang kita pijak. Bayangkan berapa jauh lagi jarak yang harus ditempuh, berapa lama lagi waktu yang akan digunakan, berapa milyar Dollar lagi biaya yang harus dihabiskan untuk mencapai planet terjauh dari pusat tata surya (matahari) kita ? Dan kalaupun manusia bisa sampai kesana, itu belumlah sampai batas langit lapis kesatu. Padahal menurut ilmu pengetahuan yang kita pernah pelajari (para antariksawan), langit pertama yang menaungi kita ini sebetulnya terdiri dari sekitar 40 milyar galaksi. Dan setiap galaksi diperkirakan ada 40 milyar bintang. Dan salah satu bintang terdekat kepada bumi kita adalah matahari. Bisa dibayangkan, betapa kecilnya kita dibandingkan dengan langit yang Alloh ciptakan dan betapa Agung dan Maha Besar-nya Alloh Yang telah menciptakannya. Hebatnya lagi, setiap lapis langit itu masih terdiri dari susunan galaksi yang diperkirakan jauh lebih banyak lagi dan semuanya berdiri tanpa tiang penyangga serta setiap bintangnya pun tergantung tanpa tali. Jadi, layakkah kita bertasbih kepada Alloh? Subhanalloh!

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu”.
(Coba lihat Al-Qur’an surat Ar-Ra’ad, 13 ayat 2)

Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”.
(Lihat juga Al-Quran surat Ar-Rohman, 55 ayat 33)

Alloh menciptakan planet-planet yang salah satunya adalah bumi yang kita pijak selama ini. Saya ingat ketika masih duduk di SMP, ada keterangan bahwa, menurut para ahli, planet bumi yang kita pijak ini adalah planet yang “paling ramah” di antara planet lainnya. Di bumi ini Alloh ciptakan oksigen yang dengannya kita bisa bernafas. Alloh ciptakan pula hutan dan pepohonan yang dengannya sirkulasi gas-gas alam (Carbon diproses sedemikian rupa sehingga kembali menjadi oksigen). Alloh ciptakan air sebagai penopang kehidupan yang sangat vital bagi seluruh makhluk. Alloh menciptakan tanah yang mengandung banyak unsur hara dan berbagai mineral dan bahan tambang. Alloh ciptakan angin yang dengannya tertiuplah awan-awan, kemudian darinya Alloh ciptakan hujan yang dengannya hidup dan berkembanglah tumbuh-tumbuhan yang dengannya hewan-hewan herbivora dan omnivora bisa hidup dan berkembang biak. Alloh ciptakan pula hewan karnivora yang dengannya keseimbangan ekosistem tetap terjaga. Pendek kata, Alloh-lah Tuhan (Al-Kholiq) yang menciptakan itu semua. DIA ciptakan makhluk yang terkecil (micro cosmos) yang pernah dilihat dan dipelajari dan yang belum ditemukan manusia serta makhluk terbesar (macro cosmos) yang pernah diukur dan yang belum terukur oleh manusia. DIA menciptakannya tanpa cacat (sempurna) sesuai dengan perhitungan yang sangat akurat dan sesuai dengan peruntukkannya masing-masing. Bahkan DIA ciptakan pula rezki bagi tiap-tiap makhluk-Nya dengan sebaik-baiknya. Kemudian DIA tetap (ilham) kan bagi masing-masing cara beraktivitas (beribadah) nya. Semuanya tunduk patuh dan taat kepada ketentuan (sunnatulloh) ini tanpa kecuali. Coba kita lihat dalam Al-Qur’an :

Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembangbiakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik. (Luqman, 31 ayat 10)

 “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Al-Isro’,17 ayat 44)

Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki” (Surat Al-Hajj, 22 ayat 18).

Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (An-Nuur, 24 ayat 41)

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat  yang dibuat manusia”, (An-Nahl, 16 ayat 68)


MANUSIA ADALAH MAKHLUQ (YANG DICIPTAKAN) YANG DIMULIAKAN ALLOH

Dari keseluruhan makhluk yang diciptakan, manusia (kita) dari saripati tanah (air mani) yang diproses sedemikian rupa menjadi segumpal darah dan daging, dan seterusnya hingga seperti ini dengan sangat sempurma. Mulai dari bentuk fisik, fungsi organ tubuh hingga fungsi setiap sistemnya, seluruhnya diciptakan dengan sangat teliti dan sempurna. Dan untuk keberjalanan/keberlangsungan dari setiap fungsi-fungsi sistem yang ada dalam tubuh ini, Alloh sediakan dan atur rezkinya masing-masing. Contoh, dari setiap makanan yang kita konsumsi (contoh) bala-bala, yang kita tahu hanya memasukkannya ke dalam mulut, tapi tahukah bagaimana fungsi sistem pencernaan kita memproses bala-bala tersebut? Karbohidratnya lari ke mana, dicerna oleh organ apa, kemudian diproses jadi apa. Vitamin dari setiap bagian bala-bala tersebut, seperti –yang berasal dari wortel, kol, toge, serta mineralnya jadi bagaimana dan jadi apa? Belum lagi minyaknya kemana, oleh apa, bagaimana dan jadi apa? Kemudian setelah semuanya terproses dengan sempurna, secara otomatis dialirkan ke saluran pembuangan yang berbeda dengan saluran masuknya tanpa diperintah otak kita. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya bila sistem itu tidak teratur atau memberontak sekehendaknya masing-masing?

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (Lihat Qur’an surat Al-Mu’minun, 23 ayat 12-14)

Lebih dari itu, kita dikaruniai kelebihan di atas makhluk lainnya yang karenanya seluruh makhluk itu ditundukkan oleh Alloh demi kepentingan penyempurnaan penghambaan manusia kepada Alloh bahkan para Malaikat diperintahkan Alloh untuk sujud (menghormat) kepadanya. Kita dikaruniai 3 macam potensi yang paling utama dan tidak diberikan –secara sempurna- kepada makhluk lainnya, yaitu akal, jasmani, dan jiwa (termasuk nafsu). Dengan akalnya, manusia bisa menundukkan hewan-hewan bahkan yang paling buas/liar sekalipun. Dengan akalnya juga manusia bisa meratakan gunung yang sebelumnya menjulang, bahkan menjadikannya sebagai sumur yang dalam. Manusia pun mampu mengubah lautan menjadi daratan, mengubah hutan belantara menjadi padang pasir yang gersang atau sebaliknya, mengubah padang pasir yang gersang menjadi taman-taman subur serta hutan. Coba lihat Qur’an surat :

Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.(Luqman, 31 ayat 20)

“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (Al-Isro’,17 ayat 70)

Dan Sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya“. (Al-Ahqof,46 ayat 26)

Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? (Al-Mu’minuun, 23 ayat 115)

DIA lah Alloh Yang Maha Pencipta dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Oleh karena itu lah kita wajib mengabdikan hidup kita sepenuhnya kepada Alloh.

(yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu;

tidak ada Tuhan selain dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu“. (Al-An’am ayat 102)


HUBUNGAN ALLOH DENGAN MANUSIA

Penciptaan manusia oleh Alloh ini melahirkan hubungan (status), dimana Alloh sebagai Al-Kholiq yang kedudukannya bagi kita adalah Tuhan (Robb) satu-satunya yang wajib disembah dan kita adalah makhluk yang kedudukannya sebagai hamba dan berkewajiban mengabdi (beribadah) kepada-Nya. Status ini bersifat mutlak.

(Coba lihat Al-Qur’an surat Adz-Dzaariyat, 51 ayat 56)

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Lahir dari keta’ziman (kagum) kepada Alloh yang telah menciptakan langit dan bumi beserta isinya, termasuk kita dengan segala kesempurnaan; sebagai wujud rasa syukur, maka diri membenarkan dan menerima (idi’an-qobul) diri kita sebagai hamba Alloh.


Sumber :
https://bahteranusa.wordpress.com

Jumat, 06 April 2018

TUGAS, FUNGSI, DAN PERAN MANUSIA

Image Source : Linedeco
Karena kita telah menerima dan meyakini sebagai hamba Alloh yang berkewajiban ibadah, maka Alloh memberikan tuntunan bagaimana cara merealisasikannya dengan benar sesuai kehendak-Nya.


Manusia adalah Hamba Alloh yang wajib beribadah

Ibadah adalah kewajiban makhluk kepada Sang Kholiq. Ini adalah jalan satu-satunya menggapai ridho-Nya sekaligus untuk membuktikan status sebagai hamba. Dan hanya karena inilah, kita dihidupkan Alloh. Dalam artian kita harus menjadikan seluruh aktivitas hidup kita semata-mata hanya untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur’an surat Adz-Dzariyat, 51 ayat 56.

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Ibadah dalam artian kita hanya menyembah Alloh dengan tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun (tidak syirik) dan membuktikannya dengan taat menjalankan ajaran agama (diin) Islam sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an surat Al-Bayinah (98) ayat 5 :

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus“.

Dengan pelaksanaan ibadah tersebut, Alloh menghendaki agar kita menjadi manusia yang paling mulia disisi-Nya (muttaqin). Artinya pelaksanaan ibadah akan membina manusia menjadi manusia yang dapat memelihara dirinya dengan ajaran Islam (paling baik akhlaknya) sebagai bekal mencapai mardhotillah sejati dan  wujud pertanggungjawaban kita kelak di Yaumil Qiyamah. Hal sebagaimana diisyaratkan dalam Surat Al-Baqoroh ayat 21, Al-Fatihah ayat 4 dan Al-Hasyr (39) ayat 18:

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu,

agar kamu bertakwa”.

“Yang menguasai di hari Pembalasan

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.


Makna dan Ruang lingkup Ibadah

Karena seperti yang kita ketahui bahwa setiap aktivitas kita akan dimintai pertanggungjawaban, maka sudah selayaknya, kita memaksimalkan seluruh potensi (akal, jasad, dan jiwa) serta meniatkan dan setiap aktivitas hidup kita semata-mata dalam rangka ibadah kepada Alloh. Dengan demikian, ibadah itu bukan hanya ritual dalam artian sholat wajib, zakat, shodaqoh, infaq, shaum, baca qur’an, sholawat, haji, dan sebagainya. Ibadah itu melingkupi seluruh aspek hidup dan kehidupan kita, baik sebagai individu maupun dalam hal bermasyarakat.

Sholat wajib yang sehari semalam saja (jika ditotalkan) tak lebih hanya memakan waktu 1 jam itu akan dimintai pertanggungjawaban, bagaimana halnya dengan sekolah yang menghabiskan waktu 4-6 jam; belum lagi kerja yang memerlukan waktu paling kurang 8 jam atau kuliah yang rata-rata bisa menghabiskan waktu 6-10 jam. Bayangkan bila kelak amalan yang bisa kita pertanggungjawabkan (itu pun kalau nilainya bagus) itu hanya sholat; bagaimana kita bisa mempertanggungjawabkan amalan-amalan yang jauh lebih menghabiskan waktu, energi, dan pikiran selain sholat tersebut.

Itulah sebabnya dalam sholat, kita diingatkan kembali akan ikrar ibadah kita kepada Alloh. Bahwa, ”inna sholaatii, wa nushuqii wa mahyayaa, wa mamaati lillaah… (sholatku, aktivitas di luar sholatku, kehidupanku, dan kematianku semata-mata hanya untuk mengabdi kepada Alloh).

Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” 
(Lihat surat Al-An’am ayat 162-163)


Realisasi Ibadah

Sebagaimana di awal telah diterangkan bahwa ibadah itu perintah Alloh kepada kita yang mana dasar (ikhlas lillahita’ala) dan tujuannya harus benar sesuai kehendak Alloh sebagai Al-Ma’bud, yaitu semata-mata hanya mengharapkan Mardhotillah, maka hal itu hanya bisa terbukti benar bila cara atau pelaksanaannya pun benar.  Kita tidak bisa mengada-ada (bid’ah) atau berinisiatif.

Ibadah hanya benar bila sesuai dengan pedoman pelaksanaan yang benar, yakni Al-Qur’an. Dalam hal ini Alloh mensyariatkan pelaksanaan ibadah sebagaimana tertulis dalam surat An-Nisaa’ ayat 59 :

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (alim ulama) di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya / hadits sohih), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

Cara atau pelaksanaan ibadah yang disyariatkan Alloh adalah dengan taat kepada Alloh dan Rosul-Nya serta Ulil Amri dalam artian menjalankan Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadits Sohih) sebagai aturan hidup yang mana pada prakteknya adalah dengan mengikuti bimbingan dari para ‘Alim Ulama warotsatul anbiya’ yang kompeten dalam bidangnya. Atau dengan kata lain para ulama atau Ustadz yang sungguh-sungguh bertanggungjawab meneruskan tugas Nabi Muhammad saw dalam membimbing kita (umat islam) dalam menjalankan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai petunjuk hidup ibadah kepada Alloh.

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.

(Lihat juga surat Al-Kahfi,18 ayat 110)

Dengan demikian, dalam pelaksanaannya, ibadah akan melahirkan struktur kepemimpinan ibadah; dimana ada yang berperan sebagai pembimbing dan yang dibimbing seperti halnya pada masa Rosul saw. Umat Islam dibimbing pelaksanaan ibadahnya oleh beliau. Nah, kira-kira, butuhkah kita pembimbing untuk melaksanakan tugas penghambaan kita kepada Alloh sekaligus agar kita tetap terpelihara di jalan yang lurus (Islam) dan tidak terjerumus pada kesesatan atau yang dimurkai Alloh? Alhamdulillah, mudah-mudahan kita mendapat bimbingan agar senantiasa istiqomah berada di jalan yang lurus ini. Amiin.

Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai hamba Alloh tsb akan melahirkan : fungsi & peranan yg pelaksanaannya tetap bermuara pada 1 hal, pengabdian/ketaatan/ ketundukpatuhan kepada Alloh.


Fungsi kekhalifahan manusia.

‘Abid atau hamba adalah jabatan tertinggi yang disematkan Alloh Sang Raja langit & bumi kepada manusia. Jabatan hamba disini bisa juga bermakna pembantu, ajudan, mandataris atau dengan kata lain wakil.  Dengan demikian, sebagai hamba Alloh, manusia berkewajiban mewakili “keberadaan” Alloh di muka bumi. Jabatan ini dalam Al-Qur’an dikenal dengan Kholifatulloh fil ardhi (wakil Alloh di muka bumi). Coba kita lihat dalam surat Al-Baqoroh ayat 30 dan Shod, 38 ayat 26 :

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:

“Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”

Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,

Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.

Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan“.

Sadar atau tidak sadar, pengangkatan manusia sebagai Kholifah Alloh di bumi ini bersifat mutlak dan melekat pada diri manusia sejak diciptakan. Artinya manusia lah satu-satunya makhluk yang memiliki potensi dan dimampukan oleh Alloh untuk mewakili-Nya sebagai pemimpin di muka bumi ini yang berlaku kepada setiap manusia di bumi ini.


Peran pengemban amanah Allah.

Dalam rangka terpenuhinya tanggungjawab sebagai kholifah, manusia diberikan amanah. Peran manusia adalah sebagai pengemban amanah dari Alloh yaitu mengelola atau memaksimalkan sumber daya yang tersedia di alam untuk kepentingan penghambaan seluruh manusia kepada Alloh serta aqimuddiin (menegakkan diinulloh, agama Islam) dalam setiap individu manusia dan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga keadilan Alloh di muka bumi dapat terwujud. Atau dengan kata lain, kholifah berkewajiban mengajak manusia agar tunduk patuh (beribadah) kepada Alloh, sehingga dengannya terwujudlah sebuah kehidupan masyarakat yang adil dan makmur di muka bumi sebagaimana telah dinyatakan oleh kekholifahan terdahulu (generasi awal).  Hal ini ditegaskan dalam surat Al-A’rof ayat 172, Al-Ahzab ayat 72, Shod (38) ayat 26 dan Az-Zukhruf (42) ayat 13 :

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.

Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh“.

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)“.

Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi“.


Metode Menjalankan Amanah

Dan agar pemenuhan kewajiban ini, maka setiap hamba Alloh harus berhijrah; yaitu  tidak mencampuradukan yang haq dan yang bathil. Artinya, kita harus memastikan ibadah kita kepada Alloh murni atau dengan sebaik-baiknya tanpa tercampur dengan kesyirikan. Hal ini ditegaskan dalam surat Al-Anfaal ayat 72.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan“.


Kesimpulan :

Manusia adalah hamba Alloh yang wajib mengabdikan seluruh hidupnya kepada Alloh Subhanahu wata’ala dengan bukti memenuhi tugas, fungsi, dan perannya dengan sebenar-benarnya (secara sempurna) yang dengannya tegaklah agama (diin) islam di dalam dirinya dan lingkungan masyarakat.  Dalam artian, secara individu kita menjadi manusia yang paling bertaqwa dan secara sosial terbinanya sebuah tatanan masyarakat yang adil makmur dibawah naungan Ridho Alloh Subhanahu wa Ta’ala.


Sumber : 
https://bahteranusa.wordpress.com

Al-KHALIQ

Image Source : Pixabay
A. Pendahuluan
Al-Khaliq artinya Yang Maha Pencipta.

Disebutkan nama Al-Khaliq dalam Al-Qur'an pada beberapa tempat di antaranya, firman Allah:

(24). ﻫُﻮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﺨَﺎﻟِﻖُ ﺍﻟْﺒَﺎﺭِﺉُ ﺍﻟْﻤُﺼَﻮِّﺭُ ۖﻟَﻪُ ﺍﻟْﺄَﺳْﻤَﺎﺀُ ﺍﻟْﺤُﺴْﻨَﻰٰ ۚﻳُﺴَﺒِّﺢُ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ۖﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟْﻌَﺰِﻳﺰُ ﺍﻟْﺤَﻜِﻴﻢُ
"Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Hasyr : 24)

ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺧَﺎﻟِﻖُ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ۖ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰٰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻭَﻛِﻴﻞٌ
"Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu." (QS. Az-Zumar : 62)

ﺇِﻥَّ ﺭَﺑَّﻚَ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﺨَﻠَّﺎﻕُ ﺍﻟْﻌَﻠِﻴﻢُ
"Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Hijr : 86)

B. Makna Al-Khaliq
Al-Khaliq secara bahasa berasal dari kata "khalq" atau "khalaqa" yang berarti mengukur atau memperhalus.

Kemudian, makna ini berkembang dengan arti menciptakan tanpa contoh sebelumnya.

Kata khalaqa dalam berbagai bentuknya memberikan penekanan tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya.

Al Khaliq berarti Allah adalah pencipta semua makhluk yang ada di semesta ini. Semua yang ada di langit dan di bumi adalah ciptaan Allah. Allah menciptakan makhluk dengan wujud yang sempurna dan sebaik-baiknya bentuk.

Malaikat, jin, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, matahari, bulan, bintang, dan segala yang ada di alam ini diciptakan oleh Allah.

Tidak ada yang diciptakan Allah dengan kebetulan, semua ada maksud, tujuan dan manfaatnya. Tidak ada penciptaan yang sia-sia.

Sebagai pencipta, Allah tidak membutuhkan apapun dari makhlukNya, tetapi makhluk sangat membutuhkan Allah karena kita sangat memerlukan ridho Allah dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Kita harus menyadari hal itu dan harus berusaha untuk selalu melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya.

Allah berfirman dalam surah Al-A'la:
ﭐﻟَّﺬِﻯ ﺧَﻠَﻖَ ﻓَﺴَﻮَّﻯٰ

"Yang telah menciptakan (sekalian makhlukNya) serta menyempurnakan kejadiannya dengan kelengkapan yang sesuai dengan keadaannya". (QS. Al-A'la : 2)

Allah menciptakan setiap makhluk secara sempurna dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya dengan ukuran yang paling tepat. Al-Qur'an menegaskan,

"Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah." (QS. As-Sajdah : 7)

Dalam ayat lain ditegaskan, "Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS. At-Tin : 4)

C. Tujuan Penciptaan Manusia dan Alam Semesta
Beberapa tujuan penciptaan manusia dan alam semesta ini, diantaranya adalah:

1. Beribadah kepada Allah

ﻭَﻣَﺎ ﺧَﻠَﻘْﺖُ ﺍﻟْﺠِﻦَّ ﻭَﺍﻟْﺈِﻧْﺲَ ﺇِﻟَّﺎ ﻟِﻴَﻌْﺒُﺪُﻭﻥِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (Qs. Adz-Dzariyat : 56)

2. Mengenal kekuasaan-Nya

ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺧَﻠَﻖَ ﺳَﺒْﻊَ ﺳَﻤَﺎﻭَﺍﺕٍ ﻭَﻣِﻦَ ﺍﻷﺭْﺽِ ﻣِﺜْﻠَﻬُﻦَّ ﻳَﺘَﻨﺰﻝُ ﺍﻷﻣْﺮُ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻦَّ ﻟِﺘَﻌْﻠَﻤُﻮﺍ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ ﻭَﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻗَﺪْ ﺃَﺣَﺎﻁَ ﺑِﻜُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻋِﻠْﻤًﺎ ‏( 12 ‏)
"Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu; dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu." (Qs. Ath - Thalaq ayat 56)

D. Hikmah Memahami  Al-Khaliq
Adapun hikmah atau manfaat yang dapat diambil dari asma Allah, Al-Khaliq adalah sebagai berikut:

1) Meyakini bahwa Allah maha menciptakan segala makhluk di alam semesta ini.

Seorang mukmin hendaklah menanamkan suatu keyakinan dalam hatinya bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah ciptaan Allah karena Allah bukan diciptakan oleh yang lain. Makhluk hanya merubah dari bahan yang telah ada kepada bentuk yang lain.

Jadi, makhluk hanya merubah bentuk dari satu bentuk kepada bentuk yang lain bukan menciptakan dari semula, kerena yang dikatakan pencipta itu adalah Khaliqu Minal Adami artinya menciptakan dari benda yang tidak ada.

2) Meyakini bahwa Allah maha menakdirkan (memberi ukuran) kepada seluruh makhluk yang diciptakannya.

Keyakinan ini mesti ditanam di dalam hati mukmin karena dengan keyakinan tersebut seseorang akan menerima dengan senang hati apa saja yang terjadi pada dirinya karena itu adalah kehendak Allah.

Apa saja yang terjadi di alam ini semata-mata hanya kehendak Allah. Daun kayu yang kering tidak akan jatuh karena angin kencang bila tidak karena takdir Allah.

3) Menjauhkan diri dari menyekutukan-Nya dengan makhluk-makhluk-Nya

ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺧَﻠَﻘَﻜُﻢْ ﺛُﻢَّ ﺭَﺯَﻗَﻜُﻢْ ﺛُﻢَّ ﻳُﻤِﻴﺘُﻜُﻢْ ﺛُﻢَّ ﻳُﺤْﻴِﻴﻜُﻢْ ﻫَﻞْ ﻣِﻦْ ﺷُﺮَﻛَﺎﺋِﻜُﻢْ ﻣَﻦْ ﻳَﻔْﻌَﻞُ ﻣِﻦْ ﺫَﻟِﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺷَﻲْﺀٍ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻪُ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻋَﻤَّﺎ ﻳُﺸْﺮِﻛُﻮﻥَ
"Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan." (QS. Ar-Ruum : 40)

4) Dapat menghindarkan diri seseorang dari sifat sombong dan angkuh.

Bilamana dia berhasil melakukan perbuatannya. Keberhasilan seseorang dalam suatu pekerjaan sering membuatkan seseorang angkuh dan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Akibat sifat yang demikian membuatkan seseorang kurang manghargai orang lain dan selalu mengecilkan orang bahkan sampai menolak kebenaran yang datang dari orang lain.

5) Menimbulkan ketenangan di dalam hati seseorang mukmin.

Bila dia tidak berhasil dalam segala rencananya sehingga ia selalu berserah diri kepada Allah.

Mentakdirkan apa yang diusahakannya serta mampu untuk mengambil hikmah atas ketidakberhasilannya itu.

6) Mendorong seseorang untuk lebih meningkatkan keimanan kepada Allah.

Karena ia pasti meyakini apapun yang di lakukannya hanya sekedar usaha bukan mutlak untuk memberikan keberhasilan atas segala usahanya sehingga sifat demikian akan mendorong dia selalu meningkatkan hubungannya dengan Allah.

E. Penutup
Semoga dengan memahami salah satu nama dan sifat-Nya sebagai Sang Pencipta, kita dianugerahi ketakwaan yang lebih meningkat dari sebelumnya serta terhindar dari menyekutukan-Nya dengan makhluk-makhluk-Nya.

Di samping itu, semoga kita dianugerahi kemampuan untuk mentadaburi ciptaan-Nya yang terwujud pada alam semesta ini hingga kita termasuk dalam golongan ulil albab sesuai dengan yang telah diabadikan dalam  firman-Nya:

"Sesungguhnya di dalam kejadian langit dan bumi, dalam perbedaan malam dan siang merupakan ayat-ayat kebesaran Allah bagi mereka yang berpikir cerdik. Yaitu orang yang selalu ingat Allah pada waktu berdiri, duduk, dan berbaring, mereka selalu berpikir tentang ciptaan langit dan bumi, mereka berkata: “Wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia, Maha suci Engkau, lindungilah kami dari siksa api neraka." (QS Ali ‘Imrân [3]:190-191)



Sumber utama diambil dari:
1. Asma-ul Husna, hasil buah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

2. Fikih Asma-ul Husna, yang ditulis oleh Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr

3. Berbagai sumber dari internet


http://www.sudutpandang2.blogspot.co.id/?m=0

Menuju Peradaban yang Lebih Diberkahi

Image Source : Pixabay
Oleh : Shalih Hasyim

SEJAK awal perkembangan Islam, langkah fundamental yang diambil oleh Rasulullah Saw untuk membumikan nilai-nilai Islam, adalah mencari lingkungan yang steril dari kontaminasi dan dominasi hukmu al jahiliyyah (hukum jahiliyah), tabarruj Al Jahiliyyah (tatanan sosial yang mengabaikan moral), Zhan Al Jahiliyyah (gaya hidup yang menuhankan materi), hamiyyatul jahiliyyah (kultur jahiliyah) dalam segala dimensinya.

Membangun Islam dalam lingkungan yang tidak kondusif dengan begitu, laksana menanam benih di lahan yang gersang, kering kerontang. Tentu benih yang ditanam tidak akan tumbuh menjadi tanaman yang subur. Bahkan, kemungkinan besar akan layu. Hidup segan, mati tak mau. “Laa yamuutu wa laa yahyaa.”

Umar bin Khathab ketika memimpin upacara pemberangkatan para dai ke berbagai belahan dunia: Fii ayyi ardhin taqo’ anta mas’ulun ‘an Islamiha (di bumi manapun anda berdiam, anda memiliki tugas untuk mengIslamkan penduduknya).

Selama 13 tahun Rasulullah Saw dan para sahabatnya berIslam di Makkah, terbukti hanya beberapa gelintir orang yang menyambut seruannya. Itupun, sebagian besar berasal dari kalangan grass root (mustadh’afin). Karena lingkungan sosial Makkah didominasi kemusyrikan. Penyakit molimo (minum, mencuri, membunuh, main perempuan, berjudi, memakan riba) yang diderita masyarakat sudah pada stadium akut.

Rasulullah Saw bersabda : “Seseorang itu tergantung agama kekasihnya, maka lihatlah kepada siapa ia berteman.” (HR. Ahmad )

Dalam Hadits lain disebutkan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tua lah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Bukhari Muslim).

Begitu pentingnya sebuah lingkungan (al Biah), sehingga sastra arab mengatakan : “Nahnu ibnul biah.” (kita adalah produk sebuah lingkungan). Ada ungkapan lain yang senada: “Al Jaaru qabla ddar.” (mencari tetangga yang sepaham/sefikrah terlebih dahulu sebelum membangun rumah). Manusia itu diperbudak oleh kebiasaan dimana ia berdiam, kata sastra Arab. Seseorang yang akrab, dekat dan erat dengan penjual minyak wangi, akan terkena bau wangi, seseorang yang dekat dengan pandai besi, akan kecipratan bau besi. Seseorang yang dekat dengan orang-orang pilihan, ia akan terpengaruh oleh mereka.

Jadi, lingkungan yang Islami merupakan hidden curiculum yang akan merekonstruksi/menata ulang struktur kepribadian penghuninya menjadi Islami. Sebaliknya kawasan yang jahili akan membentuk pola pikir dan sikap mental jahiliyah penghuninya pula.

“Perumpamaan hidayah dan ilmu yang dengannya aku diutus oleh Allah, seperti tamsil hujan lebat mengguyur bumi. Maka ada tanah yang bagus menerima air kemudian menumbuhkan tanaman hijau dan rumput yang banyak. Dan ada tanah keras yang bisa menahan air, kemudian Allah berikan manfaatnya bagi manusia, sehingga mereka bisa mengambil air minum, menyirami, dan bercocok tanam. Dan ada lagi hujan yang mengguyur bumi yang licin, tidak menyerap air dan tidak menumbuhkan tanaman. Itulah tamsil orang yang memahami agama Allah dan petunjuk yang aku diutus Allah dengannya memberi manfaat baginya, maka ia tahu dan mengajarkannya kepada orang lain, dan tamsil orang yang tidak peduli dengan agama Allah dan tidak menerima hidayah Allah dengannya aku diutus.”
(HR. Bukhari, Shahih Al Bukhari 1/28).


Ketika Rasulullah Saw dan para sahabat As Sabiqun Al Awwalun ( angkatan Islam pertama) itu merasakan bumi Makah terlalu sempit menampung idealisme tauhid, Beliau ekspansi dakwah dan mencari basis teritorial lain yang lebih menjanjikan. Sehingga beliau memilih tanah Thaif sebagai alternatif pertama, tetapi respon kaum Thaif tidak menyenangkan. Bahkan beliau dilempari dengan batu. Kemudian mengadakan hijrah ke Habasyah. Namun imigrasi yang kedua ini kurang lebih sama dengan tujuan hijrah pertama. Sekalipun Raja Habsyi cukup toleran, hanya ghulam (seorang pemuda) yang masuk Islam ketika tertarik melihat Rasulullah Saw makan dengan membaca doa.

Baru setelah hijrah ke Madinah terjadi perkembangan spektakuler baik dari segi kaulitas maupun kuantitas kaum Muslimin. Dalam waktu 10 tahun di Madinah, kaum muslim tercatat 10.000 orang. Peristiwa hijrah ini kemudian dijadikan Khalifah Umar bin Khathab sebagai momentum penetapan tahun baru Islam. Sekalipun banyak peristiwa besar yang mendahuluinya, seperti pasukan gajah yang dipimpin oleh Raja Abraha untuk menghancurkan Ka’bah dll. Dari sini titik tolak perubahan totalitas kaum muslimin pertama terjadi.


Pelajaran Fundamental Hijrah

Ada beberapa pelajaran penting dari peristiwa hijrah ini, dikaitkan “hijrah” modern dengan visi membangunan peradaban Islam ke depan.


Pertama: Reformasi itu dimulai dari level kepemimpinan

Yang perlu diluruskan bahwa hijrah itu tidak identik dengan urbanisasi. Karena hijrah itu menuntut adanya perubahan secara radikal dan total. Dan setiap perubahan itu, berimplikasi sangat jauh. Perubahan itu memerlukan pengorbanan, maka terasa pahit. Apalagi jika seseorang itu telah membangun imperium, kedaulatan, status quo sudah sedemikian kokoh. Dipagari oleh kesetiaan dan hak-hak istimewa. Dalam kondisi demikian, perubahan itu biasanya ditafsirkan dengan instabilitas, anti kemapanan dll.

Dari berbagai teori perubahan, kejatuhan dan kebangunan negara dapat dipahami bahwa perubahan itu akan sukses jika di pelopori dari setiap individu, utamanya kalangan elitis sebuah komunitas. “Taghyiiru khuluqil ummah taabi’un litaghyiiri khuluqil qiyadah,” (perubahan sebuah bangsa berbanding lurus dengan kesiapan berubah di kalangan elit kepemimpinan), kata Ibnu Khaldun. Jika kita getol menyapu lantai rumah, sementara kotoran atapnya dibiarkan menempel, maka lantai akan kotor kembali.


Kedua: Komitmen terhadap regenerasi

Kepimpinan yang baik adalah mempersiapkan penggantinya. Penerus dan pewaris perjuangannya. Sebab usia seorang pemimpin umumnya lebih pendek dibandingkan dengan nilai immaterial, misi yang diperjuangkan. Bahkan ummat Muhammad hanya berumur berkisar 60 sampai 70 tahun (HR. Ahmad). Nilai-nilai moral yang tidak secepatnya diwariskan, maka negara, intitusi, akan kurang dinamis dalam merespon perubahan sekitarnya. 

Yang dimaksud kader disini adalah seseorang yang dididik, disiapkan, disetting, untuk melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan dalam sebuah keluarga, partai, intitusi, lembaga, negara. Oleh karena itu sebelum Rasulullah Saw hijrah, telah mempersiapkan Ali untuk menggantikan tempat tidurnya. Dengan regenerasi maka kesinambungan amal dan transfer nilai akan berjalan dengan baik.


Ketiga: Memperkuat Sandaran Vertikal

Ketika rumah Rasulullah Saw sudah dikepung oleh para algojo dari berbagai kabilah Arab untuk menghabisi nyawanya, beliau tetap memiliki kestabilan jiwa. Hal ini merupakan salah satu buah ketargantungannya (ta’alluq) kepada Al Khaliq yang sudah terlatih selama 13 tahun di Makkah. Bahkan pada malam hari, saat memutuskan berangkat secara rahasia bersama kekasihnya Abu Bakar, beliau membacakan salah satu firman Allah Swt. :

وَجَعَلْنَا مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدّاً وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدّاً فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لاَ يُبْصِرُونَ
“Dan Kami adakan dihadapan mereka dinding dan dibelakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin 36/9).

Setelah itu para algojo itu tidak bisa mendeteksi kepergian Rasulullah Saw. karena dibuat mengantuk oleh Allah. Setelah memasuki rumah beliau merasa terheran-heran, ternyata yang menempati tidur Rasulullah Saw adalah anak pamannya Abu Thalib, Ali kw. Betapa terkejutnya mereka. Mereka membuat makar, dan Allah membuat makar yang lebih canggih kepada mereka.

Sebuah bangsa yang dibangun tanpa memperhatikan aspek moral, keterlibatan Tuhan maka ucapkanlah taziyah (ucapan terakhir untuk mayit) kepada bangsa itu. Negara yang dibangun dengan mengabaikan peranan Tuhan, laksana membangun istana pasir atau permukaan balon. Negara itu akan keropos, mudah rapuh oleh tangan jahil penghuninya atau oleh konspirasi eksternal.


Keempat: Membangun sinergi dengan pihak lain

Sesungguhnya eksistensi sebuah peradaban sangat didukung oleh ketrampilannya dalam membangun kerjasama dengan pihak lain. Untuk mendukung keberhasilan hijrah, Rasulullah Saw bekerjasama dengan penggembala kambing orang Nasrani (Abdullah) untuk menghilangkan jejak dan rute yang dilewati. Sehingga beliau dan Abu Bakar menaiki Gua Tsur dengan aman. Tanpa sepengetahuan musuh-musuhnya.

Sesungguhnya ajaran Islam menjunjung tinggi kerjasama dalam kebaikan dan taqwa. Dan menolak sinergi dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Ciri yang paling menonjol akhlaq Islam dengan agama lain adalah menjunjung tinggi kesepahaman dan tidak menghalalkan segala cara. Bertolak belakang dengan sistem politik Machiavelli. “Al ghoyatu tubarrirul wasaa-il” (segala cara ditempuh, demi mencapai tujuan). Maka ada sebuah pameo; “Tidak ada kawan abadi, yang kekal adalah kepentingan.”

Disamping konsep Islam teguh dalam persoalan prinsip, terbuka pula dalam menerima perubahan-perubahan yang bersifat tekhnikal. Rasulullah telah mengajarkan sikap keterbukaan dalam memandang perbedaan. Perbedaan pandangan adalah suatu fitrah. Bahkan dengan beragam perbedaan itu bisa mendewasakan seseorang. Yang penting, mensiasati dan mengelola perbedaan itu agar menjadi produktif. Islam mengajarkan sepakat dalam persoalan prinsip dan toleran dalam perbedaan yang bersifat non prinsip. Oleh karena itu, kita dituntut menyederhanakan perbedaan dan mengedepankan kesepahaman. Dengan kerjasama yang baik antara berbagai komponen komunitas (pemimpin (Rasulullah), generasi tua (Abu Bakar), kalangan pemuda (Ali krw) kesulitan dan tantangan seberat apapun akan mudah diatasi.


Kelima: Pemberdayaan perempuan

Sesungguhnya wanita adalah saudara laki-laki (syaqoiqur Rijal). Dalam Islam laki-laki dan wanita itu satu kesatuan. Bahkan wanita itu terbuat dari tulang rusuk laki-laki. Karena dari satu jiwa, maka laki-laki dan perempuan saling membutuhkan dan saling melengkapi. Laki-laki dan perempuan yang berprestasi akan mendapatkan balasan yang sama. Oleh karena itu Allah memberikan tugas dan kewajiban kepada makhluq-Nya sesuai dengan fungsi kodratinya.

Perempuan yang terdidik dengan baik, memiliki kualitas yang melebihi laki-laki. Asma’ binti Abu Bakar dalam usia belia berhasil mengomandani urusan logistik ketika hijrah. Sekalipun medan yang dilewati terjal, dan nyawanya terancam. Demikianlah perempuan yang berkualitas, mengungguli bidadari. Karena bidadari masuk surga karena takdir. Sedangkan wanita shalihah berhasil karena perjuangan. Ketika masuk surga, menghargai tempat yang dihuni.

Sebaliknya wanita yang dibiarkan bengkok, maka kejahatannya akan melebihi laki-laki. Masih ingatkah kita peristiwa pembedahan dada mayat Hamzah bin Abdul Mutholib, kemudian digigit hatinya. Itulah perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh Hindun. Sehingga ketika telah masuh Islam, Rasulullah melihat wajahnya dengan cemberut. Terbayang dengan peristiwa yang memilukan/menyayat hati.

Wanita shalihah lebih baik dari bidadari. Karena wanita shalihah berhasil berkat perjuangannya (mujahadah). Ketika masuk surga, ia menghargai posisi yang ditempatinya. Sedangkan bidadari masuk surga secara cuma-cuma (majjanan). Ia tidak merasakan pentingnya tempat yang dihuni (Hadil Arwah, Ibnul Qayyim Al Jauziyah).


Keenam: Membangun pola kepemimpinan Imamah

Ketika di Gua Tsur Abu Bakar merasa cemas, Rasulullah Saw menghiburnya: Laa tahzan innalloha ma’anaa (Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita). Pada ayat ini beliau menggunakan khithab (pembicaraan) nun jama’ (prular) “ma’anaa”. Disini diambil pelajaran pentingnya berjamaah dalam membangun peradaban.

Berjamaah adalah media yang efektif dan efisien dalam memperkecil konflik. Mengesampingkan perbedaan dan menonjolkan persamaan. Berjamaah adalah fitrah manusia. Dengan berjamaah kita menyadari keterbatasan kita. Keberhasilan kita terwujud didukung oleh pengorbanan pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kehadiran kita di bumi ini juga tidak bisa dilepaskan dari kerjasama kedua orang tua kita. Sesungguhnya kita berasal dari percikan-percikan air (qothorot) dan menjadi manusia (fashorot insanan).

Keberhasilan yang dinikmati sendirian, tidak terlalu membahagiakan. Kesusahan yang ditanggung secara kolektif, maka derita menjadi ringan untuk dipikul. Itulah pentingnya kebersamaan. Dan karena kelemahan kita, menuntut adanya kerja sama dengan pihak lain di luar kita. Bahkan menjaga keshalihan kita mustahil terwujud tanpa berjamaah.

Kebenaran tanpa aturan, terkadang dikalahkan oleh kebatilan yang teratur kata Imam Syafii. Dunia ini dikuasai oleh negara Super Power. Namun, yang sedikit kita ketahui, dibalik kekuatan negara adi kuasa itu, terbukti ada kekuatan penekan (jama’atudh dhoghthi) yang diperankan oleh jaringan mafia kejahatan yang terorganisir dengan rapi. Dunia ini dikuasai oleh mafia. Wajar, jika kita menyaksikan media informasi di dunia ini tidak mendidik.

Demikian, beberapa pesan yang bisa dipetik dari hijrah. Yang jelas, “Al Hijratu maadhin ilaa yaumil qiayamah.” (hijrah tetap berlangsung sampai hari kiamat). Baik secara maknawi (hajara, meninggalkan segala bentuk maksiat), pula yang bersifat makani (haajara : meninggalkan lingkungan yang tidak Islami). Ketika Islam belum mendominasi kehidupan. Berbeda dengan haji, hanya diperuntukkan bagi yang mampu. Sebaliknya, selama Islam belum tegak secara de jure dan de vacto, perintah hijrah bersifat wajib sampai hari kiamat sekalipun tidak memiliki apa-apa dan berangkat harus ditempuh dengan berjalan kaki, memakan urat pohon, tempat yang dituju tidak menjanjikan kehidupan dll, menurut jumhur ulama.

وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَماً كَثِيراً وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلَى اللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلى اللّهِ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa (4) : 100).

Allah akan memberikan pertolongan kaum muhajir di tempat yang baru dengan berbagai fasilitas yang menggiurkan. Bakkah (lingkungan yang membuat orang menangis) yang semula ditempati Ibu Hajar dan Ismail, menjadi Makkah Al Mukarromah (tempat yang diberkahi dan dimuliakan). Tempat yang membuat daya tarik spiritual bagi yang pernah mengunjunginya. Gua dikelola oleh ashhabul kahfi menjadi pusat dakwah. Penjara dirubah oleh Yusuf menjadi sarana tarbiyah.

Jika di tempat pertama belum ditemukan janji Allah, maka carilah tempat yang lain. Karena di tempat yang baru ini Allah akan membuktikan jaminan-Nya. Bukankah bumi Allah itu luas?

Jika bahan pembuatan pabrik di perut bumi tertentu habis, carilah bumi yang lain. Insya Allah tempat yang baru akan ditemukan limpahan karunia-Nya.*

Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Semarang, Jawa Tengah


Sumber : Hidayatullah.com

Nabi Yahya, Pemuda yang Dirindu Sejarah

"wa salaamun ‘alayhi yawma wulida wa yawma yamuut wa yawma yub’atsuun," Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahi...